Karya Sastrawan Muda Minim Apresiasi
Oleh: Fajri Andika
AKHIR -akhir ini bermunculan buku-buku sastra, baik novel, cerpen maupun antologi puisi. Namun, banyak buku sastra yang kita temui di toko-toko buku ternyata tidak diimbangi dengan kualitas karya sastra itu sendiri. Akibatnya, buku-buku tersebut sepi peminat alias tidak laku. Buku yang pada dasarnya dianggap sebagai jendela dunia, yang bisa mencerdaskan pembaca, di sini malah membuat orang-orang yang membacanya tambah ?tidak jelas?.
Selain itu, jika dibaca lebih detail, penulisnya merupakan orang baru dalam dunia sastra. Saya sendiri sering membaca beberapa novel, kumpulan cerpen dan puisi di toko buku, yang ternyata buku-buku tersebut belum layak dipasarkan.
Saya yakin penulis seperti itu ingin cepat terkenal. Bagaimana tidak, mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk diberikan pada penerbit buku agar karya mereka bisa dipasarkan. Ia tidak peduli, bukunya bakal laku di pasaran atau tidak, yang penting namanya cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya bagi para penikmat dan pencinta sastra.
Dan bagi si penerbit, yang penting memperoleh untung besar, hasil dari bayaran si penulis, syukur kalau buku-buku yang diterbitkannya laku di pasaran. Karena yang mereka kejar memang keuntungan material.
Memang harus dibedakan antara penerbit buku yang hanya mengejar keuntungan material atau yang lebih dikenal dengan buku proyek dengan penerbit buku yang lebih mementingkan kualitas isi dari buku-buku itu sendiri. Kalau kita flash back, dulu buku-buku sastra langka karena dianggap ilmu yang kering dan dengan sendirinya konsumennya terbatas. Jarang penerbit yang bersedia menerbitkan karya sastra.
Konsekuensi langsung yang ditimbulkannya adalah langkanya bahan-bahan bacaan untuk mempermudah memahami karya sastra, baik bagi mahasiswa maupun para peminat sastra pada umumnya. Coba kita bandingkan dengan sekarang, di mana banyak sekali penerbit yang bersedia menerbitkan buku-buku sastra.
Untuk itu, perlu diberikan pujian dan apresiasi terhadap penerbit yang berani dan bersedia menanggung resiko, penerbit yang tidak semata-mata mengejar keuntungan material, penerbit yang lebih mementingkan kualitas buku-buku terbitannya serta yang paling utama yaitu untuk memikul tanggung jawab kultural.
Semakin banyaknya buku proyek yang muncul di pasaran, tidak lepas dari kurangnya apresiasi terhadap karya sastra itu sendiri. Hanya media massa cetak yang selama ini memberi tempat bagi sastra baik dalam bentuk tayangan karya maupun berita. Namun, media massa cetak pun, sesuai dengan keterbatasan halamannya, tidak memberi tempat yang memadai bagi kritik sastra yang merupakan bagian penting dalam ekosistem sastra.
Selain itu, jika ada media massa cetak yang menyediakan rubrik sastra, penulisnya masih didominasi oleh sastrawan-sastrawan yang namanya sering menghiasi media massa atau sastrawan ?senior?, sehingga sulit bagi penulis baru untuk memunculkan karya-karyanya di media.
Mungkin para redaktur dan editor media massa cetak pada saat ini masih meragukan kualitas karya-karya para sastrawan muda, dan menganggap karya-karya para sastrawan ?senior? semuanya bagus. Padahal tidak semua karya-karya para sastrawan ?senior? bagus dan layak dipublikasikan.
Saya pernah baca puisi yang dimuat di salah satu media, yang ditulis oleh salah satu sastrawan ?senior?, yang ternyata tulisannya tidak layak dimuat. Dan saya juga pernah baca salah satu karya sastrawan muda, yang ternyata kualitas tulisannya bagus dan layak dipubliksan. Dan jika dibandingkan dengan karya si sastrawan ?senior? tersebut, kualitas tulisannya lebih bagus. Ini memang penilaian subjektif. Tapi sebagai penikmat dan pencinta sastra, saya prihatin dengan keadaan sastra pada saat ini.
Meski bagus tidaknya kualitas sebuah karya sastra tidak bisa diukur dari dimuatnya di media, tapi dengan terpampangnya karya-karya sastrawan muda bisa menjadi penyemangat bagi para sastrawan muda untuk terus berkarya dan membuat karya-karya mereka tambah dahsyat serta dapat menginspirasi pemuda yang lain untuk berkarya. T.S. Eliot menyatakan bahwa mutu suatu karya ditentukan oleh kemantapan (intrinsik) karya itu sendiri, sementara kebesarannya ditentukan oleh hal-hal di luarnya.
Mengenai media massa cetak yang cenderung memuat karya-karya sastrawan ?senior?, yang cerpen maupun puisinya tidak layak dimuat serta kurangnya memberi ruang atau kesempatan kepada para sastrawan muda untuk memuat karya-karyanya, sekali lagi itu menjadi bukti bahwa kurangnya apresiasi terhadap karya-karya sastrawan muda. Akibatnya, mereka (para sastrawan muda) memilih jalan pintas, yaitu dengan cara membayar kepada penerbit buku agar karya-karyanya bisa dipublikasikan.
Dengan demikian, para redaktur dan editor media massa pada saat ini lebih melihat nama besar si sastrawan daripada kualitas tulisannya. Malah tidak sedikit media massa cetak yang meminta karya-karya para sastrawan ?senior? untuk dimuat. Jika seperti itu, kapan waktunya bagi para sastrawan muda untuk menunjukkan eksistensinya? Bukankah tidak hanya bidang olahrahraga, seperti sepak bola, bulu tangkis, bola volli, dan bolahraga-olahraga yang lain yang butuh regenerasi, tapi dalam dunia sastra juga butuh kader agar sastra kita tidak punah. Jika kita masih meragukan kualitas karya-karya sastrawan muda dan tidak mengapresiasinya, maka jangan harap akan ada penerus sastrawan Indonesia, seperti Chairil Anwar, D. Zawawi Imron, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, dan Pramoedya Ananta Toer. (*)
Fajri Andika, lahir di Sumenep, 1 Juli 1989. Alumnus Sosiologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini kini bergiat di Komunitas Sastra Rudal Yogyakarta. Tulisan-tulisannya dimuat di media lokal dan nasional.