Tidurnya Para Pemimpin

Oleh: Mohammad Fathoni

Ketika Alengka diserbu oleh Rama, Rahwana meminta pertolongan Kumbakarna. Tetapi, sosok dalam pewayangan yang sabar ini lebih memilih tidur daripada berbeda memenuhi permintaan kakaknya, Rahwana. Kumbakarna adalah sosok ksatria yang punya pendirian.

Mulanya ia memilih tidur daripada membela kakaknya yang mencuri Sinta, meskipun akhirnya ia turun berperang dan mati demi membela Alengka. Kebiasaan tidur Kumbakarna dalam kisah wayang juga diceritakan karena ia pertapa dan suka makan, tetapi kebiasaan tidur Kumbakarna tentu berseberangan dengan sifatnya yang ksatria.

Pierre Bourdieu, seorang pemikir terkemuka berkebangsaan Prancis, pernah berpendapat bahwa kebiasaan merupakan aktivitas yang dilakukan tidak berdasarkan nalar atau pertimbangan reflektif, tetapi berkaitan dengan reaksi impulsif.

Seseorang yang terbiasa tidur pada jam atau tempat kerja, ketika rapat misalnya, tentu berbeda dengan kebiasaan tidur tukang ojek yang menunggu tumpangan. Perbedaannya bukan pada aktivitas tidurnya, tetapi pada kelas dan status sosialnya, katakanlah profesi mereka. Kebiasaan seseorang yang tidur pagi misalnya, tidak sama dengan kebiasaan seseorang yang tidur malam hari.

Kebiasaan, menurut Bourdieu, mengandung hasrat, motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas, dan strategi yang berhubungan dengan kondisi diri mereka. Kebiasaan seseorang ringkasnya berkaitan dengan kemampuan diri dalam menghadapi situasi tertentu.

Dalam kasus kebiasaan Kumbakarna, seturut dengan kebiasaan menurut Bourdieu: kebiasaan adalah aktivitas yang rutin dan bersifat impulsif. Bagi Kumbakarna tidur adalah pilihan dengan segala pertimbangan untuk menghindar, meskipun memang ia suka tidur.

Apa yang dikemukakan Bourdieu barangkali cenderung mendekati seperti kebiasaan tidur Kumbakarna dalam cerita “Aku Sengaja Tidur Melulu, karena Aku Pengen Netral” karya Pipit RK. Dalam cerpen ini Kumbakarna berbeda dengan Kumbakarna dalam pakem pewayangan.

Dalam cerpen ini ia dicitrakan sebagai sosok yang sangat bodoh alias minim pengetahuan, acuh, nrimo, sabar, dan tidak punya ambisi apa-apa. Tidurnya adalah kebiasaan impulsif yang tanpa memiliki tendensi apa-apa. Karena itu, setelah ia mati dalam perang, Kumbakarna yang bodoh, tidak bisa baca-tulis, dan suka tidur itu oleh Batara Guru dimasukkan ke kandang babi para dewa yang masih kosong.

Kebiasaan tidur adalah pola perilaku dan aktivitas hidup. Kasus Kumbakarna bisa saja terjadi atau dialami oleh siapapun, dengan motivasi dan pengetahuan apapun. Tetapi, setiap aktivitas dalam keseharian memiliki alasan. Alasan tersebut tidak serta merta bersifat logis atau disadari.

Dalam masyakarat kita, dengan latar belakang masyarakat mestizon (campuran), aktivitas atau perilaku keseharian merupakan wujud kebudayaan. Sebab, setiap aktivitas melekat nilai, tradisi, dan pertimbangan lainnya baik sadar ataupun tidak. Dan setiap aktivitas akan mengarah pada suatu hasil (produk) atau tujuan tertentu.

Kebiasaan tidur Kumbakarna dalam cerpen di atas hadir atau dihadirkan oleh pengarang dengan sengaja. Artinya, dilakukan dengan sadar, bahkan sukmanya pun setelah ia mati tetap saja suka tidur.

Burhan Nurgiyantoro menyebut hadirnya Kumbakarna yang suka tidur itu bersifat simbolik yang mempunyai kesan terselubung untuk kritik kehidupan manusia. Bisa jadi, cerpen yang ditulis tahun 1993 ini oleh pengarang dipublikasikan dalam bingkai humor untuk menghadirkan bagaimana suatu tindakan dilakukan (memilih tidur) untuk menghindari konflik. Kebiasaan tidur Kumbakarna justru terkesan parodial.

Dengan latar masyarakat mestizon kebiasaan mengenai suatu aktivitas menjadi sangat beragam. Tetapi yang jelas, apapun aktivitas yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang pada suatu masa terjalin dalam suatu lingkup ruang dan waktu tertentu. Kebiasaan tidur individu dalam masyarakat kota metropolitan berbeda dengan masyarakat desa.

Rutinitas dan aktivitas masyarakat desa dijalin semangat sosial: keguyuban dan waktu tidur didukung oleh kondisi ekonomi, religiusitas, sosial, dan kultural. Kehidupan masyarakat malam dan siang hari berbeda dengan masyarakat kota yang cenderung sama. Aktivitas kerja masyarakat kota tidak dibatasi oleh waktu siang atau malam: kehidupan 24 jam yang sering disebut kota tidak pernah tidur.

Tidur pagi atau bangun kesiangan dianggap sebagai pantangan, tabu, atau larangan—kecuali pengantin baru; atau tidak tidur malam dipandang sebagai keluar dari kebiasaan.

Apa yang dimaksud dengan ‘tidur’ bukan hal yang sederhana, padanya melekat persoalan moral, sosial, atau konsep ‘space’, bahkan mempunyai muatan politis. Bagi pemeluk agama Islam, jam malam justru digunakan sebagai aktivitas ibadah (sholat malam, membaca bacaan tertentu, dan sejenisnya).

Tidur juga dapat berarti dipaksa untuk tidur (‘ditidurkan’) atau disebut dengan ‘jam malam’ pada masa darurat berbeda dengan ‘jam malam’ masa biasa. Pada masa Gestapu di beberapa daerah di Jawa Timur disebut ‘thong-thong pet’. Pada masa konflik politik ‘jam malam’ dikendalikan oleh kekuasaan. Tidur perlu dikontrol dan didisiplinkan.

Perilaku atau tindakan pada masyarakat diatur dan ditentukan hingga dianggap terbiasa. Dalam kondisi inilah Bourdieu menyebutnya dengan ketidaksetaraan sistematik, perilaku dikondisikan, sehingga tanpa sadar atau secara impulsif terbiasa dengan jam malam.

Dengan demikian, apa yang disebut jam malam bukan sekadar jam tidur, dan tidur tidak hanya disebabkan oleh dorongan alamiah atau biologis tetapi juga sebab politis atau ideologis (seperti tidur Kumbakarna yang disengaja).

Pola perilaku dan waktu tidur kemudian menjadi semacam bagian dari gaya hidup keseharian. Tidurnya para aktivis berbeda dengan tidurnya para pejabat. Tidurnya profesor beda dengan mereka yang tidurnya di trotoar. Tidurnya seorang buruh pabrik perusahaan beda dengan tidurnya para pemegang saham perusahaan. Tidurnya para nabi berbeda dengan tidurnya santri. Tidurnya juru kunci kuburan beda dengan tidurnya para calon gubernur.

Dalam kasus-kasus tertentu sengaja tidur bisa juga berarti pura-pura tidur atau sengaja menghindar dari persoalan dan tanggungjawab. (met).

Mohammad Fathoni
Lahir 25 Oktober 1986 di Banyuwangi. Alumni PPM Al-Kautsar Banyuwangi. Kini bergiat di komunitas Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta. Pernah studi di Jurusan Inggris UAD, Aqidah Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, dan S2 Ilmu Sastra UGM Yogyakata. Email: fath_email@yahoo.co.id.

Terkait

Esai Lainnya

SantriNews Network