Marwah PMII Sumenep dan Isu-isu Penting yang Terabaikan

Sumenep – Seribu lebih –sebagian menyebut ratusan— aktivis dan alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sumenep, Jawa Timur di bawah komando PC PMII Sumenep berdemonstrasi di depan Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Sumenep, Rabu, 2 Februari 2022. Mereka mendesak kepolisian segera memproses dan mengusut tuntas kasus dugaan pencemaran nama baik organisasi PMII yang dilakukan salah satu media online.

“Dalam kurun waktu 2×24 jam belum ada informasi penangkapan, PMII Sumenep akan melakukan aksi lebih besar berhari-hari, dan juga berjilid-jilid,” kata Qudsiyanto, korlap aksi yang juga Ketua PC PMII Sumenep. “Nanti PMII se-Madura siap untuk bergabung.”

Baca juga: Hanya PMII yang Direstui KH Warits Ilyas

Dua hari sebelumnya, Senin, 31 Januari 2022, PC PMII Sumenep telah melaporkan salah satu media online ke Polres Sumenep. Laporan ini buntut dari pemberitaan media online dimaksud berjudul, “Breaking News: Terlibat Pencurian, Dua Aktivis PMII Sumenep Ditangkap Tim Resmob.”

Dalam laporan polisi bernomor: LP/B/26/1/2022/SPKT/POLRES SUMENEP/POLDA JAWA TIMUR, PC PMII Sumenep menjerat media terlapor dimaksud dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ada 5 tuntutan PC PMII Sumenep. Pertama, polisi segera menindaklanjuti laporan PMII Sumenep tentang pencemaran nama baik. Kedua, polisi segera menuntaskan laporan kasus pencemaran tersebut dengan sesingkat-singkatnya.

Baca juga: PMII Banten Desak Kejati Usut Penyelewengan Dana Hibah 2013

Ketiga, tangkap penyebar hoaks karena tulisannya dinilai tidak termasuk produk jurnalistik. Keempat, polisi tidak tebang pilih dan segera melakukan pengejaran pelaku. Kelima, tulisan tersebut tidak memenuhi kode etik jurnalistik.

Kapolres Sumenep AKBP Rahman berjanji segera memproses dan menindaklanjuti laporan dari PMII tersebut. Sebagai bentuk komitmen, AKBP Rahman bahkan bersedia menandatangani surat tuntutan PMII.

“Tentunya proses hukum itu harus sesuai dengan aturan hukum. Kita tidak boleh dalam proses hukum melanggar aturan maupun ketentuan hukum,” ujarnya.

PMII Sumenep memilih melaporkan ke polisi, bukan ke dewan pers. Alasannya, media online tersebut diduga kuat tidak terdaftar di dewan pers. “Alamat dan susunan redaksinya saja tidak jelas,” kata kuasa hukum PC PMII Sumenep Kamarullah.

Atensi Nasional
Kasus ini memantik reaksi dan gerakan solidaritas dengan turun jalan dari semua alumni lintas profesi. Mulai advokat hingga anggota dewan. Bahkan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PB PMII ikut ‘pasang badan’ sekaligus memberi dukungan moral atas langkah yang ditempuh PC PMII Sumenep.

“LBH PB PMII senantiasa akan mendampingi sahabat-sahabat PC PMII Sumenep hingga kasus ini tuntas,” kata Direktur LBH PB PMII Muhammad Qusyairi, Selasa, 1 Februari 2022.

Anggota DPR RI Dapil XI Madura Slamet Ariyadi juga turut angkat bicara. Ia meminta kepolisian profesional dalam menangani kasus dugaan pencemaran nama baik organisasi PMII.

“Saya sebagai kader PMII sangat menyangkan adanya oknum media yang kurang mengerti tentang kode etik jurnalistik,” kata Ariyadi.

Baca juga: PB PMII: DPR Tak Pantas Terima Dana Pensiun

Wajar para aktivis dan alumni PMII bereaksi keras atas pemberitaan yang dinilainya telah “menginjak-injak” marwah PMII, organisasi yang sekian tahun mereka berproses didalamnya. Jalur hukum pun mereka tempuh dengan melaporkannya ke polisi.

Salah Bidikan
PMII Sumenep menjerat media online terlapor tersebut hanya dengan satu pasal pencemaran nama baik: Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ancaman pidananya maksimal 6 tahun kurungan penjara dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.

UU ITE ini sudah lama menyita perhatian publik sebab kerap digunakan sebagai alat memenjarakan orang. Pasal 27 satu diantara –setidaknya— 4 pasal yang dikenal sebagai pasal karet karena multitafsir. Menghindari bola liar tafsir atas beberapa pasal itu, Pemerintah menyikapinya dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE.

Dengan disaksikan Menko Polhukam Mahfud MD, SKB ini ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin, pada Rabu, 23 Juni 2021.

“(SKB) ini dibuat setelah mendengar dari pejabat terkait, dari kepolisian, kejaksaan agung, Kominfo, masyarakat, LSM, kampus, korban, terlapor, pelapor, dan sebagainya. Semua sudah diajak diskusi, inilah hasilnya,” kata Mahfud MD dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 23 Juni 2021.

Mahfud berharap, dengan terbitnya SKB ini penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir. Sehingga, pedoman ini bisa menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat.

SKB ini berfokus pada 4 pasal. Yaitu, Pasal 27 (susila, perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan), Pasal 28 (berita bohong dan ujaran kebencian berbasis SARA), Pasal 29 (ancaman kekerasan), dan Pasal 36 (kerugian materiil). Pasal-pasal ini dinilai menimbulkan kriminalisasi, termasuk diskriminasi.

Baca juga: Hanif Dhakiri: Mengabdilah di PMII

Pasal 27 ayat (3) berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Frasa “pencemaran nama baik”, bisa berarti nama baik seseorang atau individu dan atau juga institusi. Jadi, korban dan atau pelapor bisa perorangan atau institusi. Itu sebelum SKB.

Dalam SKB, dirincikan, bahwa muatan pencemaran nama baik merujuk pada ketentuan dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Pencemaran itu diartikan sebagai delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum dan tuduhan itu tidak benar.

“Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum aparat penegak hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran baik UU ITE,” tulis pedoman dalam SKB tersebut.

Dalam Pasal 310 KUHP disebutkan bahwa mereka yang dijerat adalah siapapun yang sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Itu artinya, kalau kelompok atau institusi –sesuai isi SKB— tidak bisa dijerat dengan pasal ini.

“Delik pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU ITE. Sebagai delik aduan absolut, maka harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum, kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian,” tulis pedoman dalam SKB tersebut.

Mengacu pada SKB ini, laporan kasus dugaan pencemaran baik PMII ini berpeluang besar tidak akan diproses oleh kepolisian. Kalaupun kepolisian harus memproses, maka sangat mudah dipatahkan di pengadilan. Sebab, —sesuai isi SKB— kasus pencemaran nama baik, masuk ke dalam rumpun delik aduan absolut. Itu artinya, pelapornya harus orang perseorangan dengan identitas spesifik. Bukan institusi, korporasi, profesi dan atau jabatan. Kata “identitas spesifik” di sini berarti jelas siapa korbannya. Sedangkan dalam perkara ini, pelapornya atas nama organisasi: PC PMII Sumenep.

Tiga Langkah PMII
Dalam konteks ini, langkah PC PMII Sumenep mempolisikan media online dimaksud dengan menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE kurang tepat. Ada beberapa langkah dan proses hukum lain yang sebenarnya dan sebaiknya ditempuh oleh PC PMII Sumenep.

Pertama, perbarui atau buat laporan baru. Dalam perkara ini, media online dimaksud bisa dijerat dengan dugaan ujaran/penyebaran kebencian berbasis SARA. Yakni, Pasal 45 a ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE, dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 156 KUHP.

Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Baca juga: PMII: Bersihkan KPK-Polri dari Pihak yang Permainkan Hukum

SKB memberi penegasan atas frasa “antargolongan”, yaitu entitas golongan rakyat di luar Suku, Agama dan Ras sebagaimana pengertian antar golongan dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017.

Dalam perkara ini, PC PMII Sumenep bisa menjerat media online itu dengan menggunakan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP. Ancaman pidanannya kurungan penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak satu miliar rupiah (Pasal 45a UU ITE), dan 4 tahun kurungan penjara (Pasal 156 KUHP). Bila ini bisa dibuktikan secara hukum dengan dua pasal berlapis itu, maka terlapor terancam pidana 10 tahun kurungan penjara.

Kedua, individu korban yang melaporkan. Pelapor harus atas nama mereka –dua aktivis PMII yang dituding terlibat dalam aksi pencurian tersebut— yang dirugikan langsung, bukan atas nama organisasi. Ini bila tetap menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dengan dugaan pencemaran nama baik.

Karena itu, langkah hukum yang tepat, sebaiknya dampingi dua korban tersebut dalam menghadapi proses hukum sampai peradilan dan atau pembuktian hukum atas mereka di pengadilan. Sebab, —sesuai isi SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE— dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum aparat penegak hukum memproses pengaduan atas delik pencemaran baik.

Ketiga, adukan ke dewan pers. Judul berita itu adalah tudingan. Mestinya, diimbuhi kata “dugaan” atau “diduga” karena dua aktivis itu masih dalam proses hukum. Statusnya masih sebagai saksi. Kepolisian bahkan belum menetapkan –setidaknya belum mengumumkan— sebagai tersangka.

Kata “terlibat pencurian” sesuai judul pemberitaan media online tersebut adalah tudingan yang serius dan bertentangan dengan azaz praduga tidak bersalah sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juncto Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penjelasan butir ke 3 (tiga) huruf c KUHAP.

Sebagai produk jurnalistik –bila media online itu sudah resmi terdaftar di dewan pers, pemberitaan dengan judul tersebut diduga kuat bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pers. Dengan demikian, perusahaan pers dan/atau wartawan yang bertanggung jawab atas pemberitaan tersebut patut diduga telah melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Pers.

Media online tersebut bisa dibidik dengan menggunakan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (2) UU Pers ini. Ancaman pidananya —bila terbukti bersalah secara hukum sesuai ketentuan pasal ini, media online atau wartawan dimaksud harus membayar sejumlah uang maksimal 500 juta rupiah.

Isu-Isu Penting
Laporan kasus pencemaran nama baik ini bukan kali pertama. Dua pekan sebelumnya, PMII STKIP PGRI Sumenep melaporkan Subiyakto, salah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep.

Subiyakto dinilai telah melukai institusi PMII secara umum dan keluarga besar PMII STKIP PGRI Sumenep secara khusus, karena telah menuding aksi demonstrasi yang mereka gelar di Kantor Dinas Pendidikan Sumenep adalah aksi bayaran.

Aktivis PMII STKIP PGRI Sumenep memang beberapa kali menggelar aksi mendesak Bupati Sumenep Achmad Fauzi untuk mencopot Agus Dwi Saputra dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Pendidikan Sumenep. Desakan itu mencuat karena Agus dinilai tak memiliki kompetensi.

Sejauh ini belum ada respon langsung dari Bupati Achmad Fauzi atas tuntutan PMII STKIP PGRI Sumenep untuk mencopot Agus. Itu satu diantara sekian persoalan yang mendapat sorotan.

Baca juga: Datangi PWNU Jatim, KPK Minta Doa Kiai

Ada banyak isu penting yang harus mendapat perhatian serius. Dalam beberapa tahun terakhir, di Sumenep terjadi penyusutan lahan produktif pertanian hingga ratusan ribu hektare. Belum lagi pencemaran lingkungan akibat tambak udang, galian C illegal, alih fungsi lahan, narkoba, dan hingga korupsi.

Dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung Dinkes, misalnya hingga sekarang belum ada titik terang. Kasus dengan kerugian Rp4,5 miliar ini bergulir sejak 2015. Sudah tujuh tahun bergulir.

Memang sudah ada tiga orang ditetapkan tersangka. Namun, berkas tiga tersangka itu tak kunjung P-21. Sudah lima kali bolak-balik Polres-Kejaksaan.

Sejauh ini belum ada aksi demonstrasi besar-besaran. (hay)

Terkait

Daerah Lainnya

SantriNews Network