Pesantren Garda Terdepan Bangun Toleransi dan Kerukunan

Agus Haerudin, Pelaksana Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Kabupaten Lebak, Banten (santrinews.com/antara)
Lebak – Pondok pesantren merupakan bagian garda terdepan membangun toleransi dan kerukunan sehingga bangsa ini menjadi kuat untuk menjalin persatuan dan kesatuan di Indonesia.
Hal itu ditegaskan Pelaksana Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Kabupaten Lebak, Banten, Agus Haerudin, di Lebak, Selasa, 2 Nopember 2021.
“Persatuan dan kesatuan merupakan cerminan jiwa santri yang cinta terhadap tanah air juga penuh kedamaian di tengah perbedaan keberagaman itu, “ kata Agus Haerudin.
Pandangan toleransi dan kerukunan itu, karena Allah menciptakan manusia di muka bumi dengan perbedaan baik suku bangsa dan keyakinan.
Namun, perbedaan itu menjadikan kekuatan untuk menjalin persatuan dan kesatuan tanpa menimbulkan permusuhan dan kebencian.
Sebab, jika suatu negeri itu penuh kedamaian, toleransi, keharmonisan dan kerukunan maka kehidupan sangat indah.
Selama ini, kata dia, pendidikan pesantren tradisional atau salafiyah di Kabupaten Lebak sepenuhnya mengkaji kitab kuning untuk membahas tentang ilmu fikih, akidah, taswauf hingga tafsir Al-Quran.
Sedangkan pesantren modern dipadukan ilmu keislaman dan pendidikan umum, seperti Bahasa Inggris.
Oleh karena itu, pendidikan pesantren di Kabupaten Lebak hingga kini tidak ditemukan paham radikalisme dan terorisme.
Saat ini, kata dia, keberadaan pesantren di Lebak tumbuh dan berkembang, bahkan hingga kini tercatat 1.700 pesantren.
Sebagian besar pesantren tersebut dikelola oleh masyarakat secara tradisional dan sebagian pesantren modern.
“Kami mengapresiasi semua pesantren itu dibangun masyarakat maupun pengelolanya kiai maupun ustadz itu,” kata Agus.
Pimpinan Pondok Pesantren Mabdaul Hidayah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak KH Dace Sofian Suri menceritakan ia mendirikan pesantren ini untuk mencetak santri yang memiliki sikap toleran di tengah perbedaan dan keberagaman.
Selain itu juga saling mencintai, kasih sayang, kedamaian dan melestarikan nilai-nilai silatuhrahmi.
Apalagi, Indonesia merupakan negara besar dan pluralisme yang memiliki perbedaan keragaman kultur budaya, agama, ras dan bahasa.
Namun, perbedaan keragaman itu semakin kuat dan kokoh menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
“Semua santri itu mengembangkan hidup toleransi, damai, menghargai serta menghormati juga mencintai NKRI,” ujarnya.
Ia mengatakan, jumlah santri yang belajar di pesantren yang diasuhnya tercatat 350 santri dan mereka berbagai daerah di Tanah Air. Metode yang diajarkan adalah sistem bandungan (dengar) dan sorogan.
Pesantren Mabdaul Hidayah yang didirikan pada 2005 itu merupakan khas pesantren salafiyah yang memperdalam kitab kuning dengan sistem coretan untuk memaknai isi kitab itu.
“Sebab kitab kuning itu disebut kitab gundul karena huruf-hurufnya belum memiliki tanda baca dhammah, fathah dan kasrah,” katanya.
Pendalaman ilmu fikih, tambahnya, seperti kitab Fathul Muin, dalam bidang tasawuf kitab Nashoihul Ibad, bidang Tafsir Al-Qunan kitab Jalalain dan Tafsir Yasin, dan ilmu tata bahasa Arab kitab Alfiyah.
Disamping juga pengembangan qiroat dan tilawatil Quran. “Kami berharap santri bisa mengembangkan ilmu agama di masyarakat,” ujarnya. (ant/red)