Santri Durrotu Aswaja Diajak Cerdas Sikapi Berita Hoax
Suasana dialog di Pondok Pesantren Durrotu Aswaja Jalan Kalimasada Sekaran, Gunungpati, Semarang, Rabu malam, 18 Januari 2017 (santrinews.com/fatmawati)
Semarang – Pondok Pesantren Durrotu Aswaja Semarang, menggelar Dialog Interaktif bertajuk “Menyikapi Berita Hoax dan Santun dalam Bermedia Sosial” di aula pertemuan Pesantren Durruto Aswaja Jalan Kalimasada Sekaran, Gunungpati, Semarang, Rabu malam, 18 Januari 2017.
Rodli Mahfudin, Ketua PengurusPesantren Durrotu Aswaja, berharap agar kegiatan itu mampu membuat santri tercerahkan atas berita hoax yang selama ini beredar pesat di media sosial. “Harapannya santriwan dan santriwati menyerap materi berita hoax dan menyikapinya dengan santun,” ujarnya.
Hadir sebagai narasumber, Wakil Sekretaris LTN NU Jepara M Abdullah Badri dan Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah Hamidulloh Ibda. Hamidulloh menyampaikan bahwa menurut data tahun 2014 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 77 juta, sementara 2015 mencapai 82 juta pengguna.
“Sampai Oktober 2016 menurut catatan Kompas, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 88 juta orang. Sedangkan pengguna layanan chatting WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna dan Messenger sebanyak 1 miliar pengguna, serta Instagram sebanyak 500 juta pengguna,” beber alumnus Pascasarjana Unnes tersebut.
Data tersebut sangat berpengaruh terhadap komsumsi berita di medsos, baik itu Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Apalagi, masyarakat saat ini, kata dia, lebih percaya isu daripada berita valid. Ironisnya, berita hoax menjadi alat untuk menghancurkan jurnalisme demi mendapatkan kekuasaan dan perang politik.
Padahal sebuah berita, lanjut dia, dalam kerja jurnalistik harus melalui tahap wawancara dan klarifikasi serta memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why, Where, When dan How). “Idealnya, sebelum membaca, mengomentari dan membagikan berita di medsos, santri harus membaca dan klarifikasi, jangan asal membagikan,” ujarnya.
Menurut dia, santri dan utamanya mahasiswa harus pandai memilah dan memilih berita yang datang dari media online saat ini. Dijelaskan dia, bahwa syarat menjadi media online saat ini minimal harus berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas), dapat SIUP dan didaftarkan di Dewan Pers agar bisa dapat barcode.
“Kalau media onlinenya tidak jelas, ya sudah kita tabayyun, klarifikasi saja kepada narasumber atau kepada pihak yang bisa kita kroscek. Soalnya kita saat ini memang dalam banjir berita, jadi kalau tidak bisa menangkal berita hoax, kita ya akan terprovokasi dan tertipu,” ujarnya. (wati/onk)