Dekontruksi Al-Urf sebagai Sumbangsih Cita Hukum Nasional

Dekontruksi artinya adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut.

Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Dalam literatur hukum Islam kontemporer kata pembaharuan silih berganti dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjih, islah dan tajdid.

Urf dalam bahasa ushul fikih memunyai makna tradisi yang berkembang dan memiliki peran penting dalam perkembangan hukum Islam. Dan secara etimologis, urf berarti “hal yang baik”. Sedangkan secara terminologis berarti tradisi mayoritas kaum baik dalam bentuk perkataan rasional atau tindakan empiris. Urf juga dijelaskan dalam Q.S Al-A’raf ayat 199):

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ١٩٩

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199).

Dalam bingkai hukum dekontruksi ini sebagai pembanding pemaknaan urf dengan hukum adat yang sudah berjalan. Urf sudah dilakukan selama masa nabi Muhammad dalam membentuk hukum Islam. Tradisi pembangunan hukum yang disunahkan nabi berdasarkan tradisi ini atau budaya kemudian dilanjutkan oleh generasi penerusnya yakni sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa Imam Mazhab. Para Imam Mazhab telah menempatkan urf sebagai salah satu basis pembangunan norma hukum Islam. Bahkan Imam Malik membangun norma hukum Islam berlandaskan pada tradisi yang hidup di masyarakat dengan cara mengakomodasi tradisi warga Madinah, tradisi ijtihad di Madinah, dan pemegang otoritas hukumnya.

Meskipun demikian, teori urf tidak bisa berdiri sendiri karena ada kaitan dengan aspek yang lainnya. Karena urf ini harus bisa menjiwai disetiap wilayah dengan sistem hukum yang selalu berbeda. Dan harus ada kausalitasnya, terlebih itu yang harus diutamakan adalah kemaslahatan itu sendiri. Namun, tidak bisa dipakai jika urf itu tidak sama sekali mengandung asas kemaslahatan. Maka itu disebut urf mafasid yang hanya merugikan hukum itu sendiri. Dan tidak ada daya ikatnya sebagai salah satu sumbangsih dari tujuan urf untuk cita hukum nasional di Indonesia.

Maka dari masalah yang terjadi di atas, penulis akan mencoba menganalisis dengan mendekontruksikan pemaknaan dari sebuah urf sehingga nilai dari urf memiliki kesamaan yang abosolut dengan hukum adat yang dianut masyarakat Indonesia. Urf akan ikut andil dan pembentukan hukum nasional di Indonesia jika dalam faktanya bahwa urf adalah bagian norma Islam yang sangan di perhitungkan dalam kajian hukum Islam.

Makna urf disamakan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia selama dalam penggunaan tidak kontradiksi dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan kebinekaannya. Dalam isu yang terjadi mengenai kabar “Hoax” yang terjadi di negara ini, kalau dalam segi Islam “Hoax” sama saja dengan memfitnah.

Kita bisa menganalisa dari segi hukum yang dianut di masyarakat kita, baik dari hukum adat, konvensional tidak ada yang membenarkan bahwa fitnah itu baik. Apa peran urf dalam masalah ini? Urf bisa memberikan nilai-nilai dalam pembuatan undang-undang di Indonesia jikalau para penegak hukum yang khususnya pembuat undang-undang saling bersinergi dengan tokoh agama.

Badan legislatif harus bisa bersinergi dengan para badan agama Islam yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh ulama yang mumpuni dalam mengeluaran fatwa. Apa gunanya ketika ada Majelis Tarjih yang di bentuk oleh Muhammadiyah serta Bahtsul Masail yang dibuat oleh NU (Nahdhatul Ulama) tidak bisa menjadi sumbangsih dalam pembentukan undang-undang yang bernuansa Islam dan di dalamnya terdapat urf.

Hukum Islam tidak kaku dan relevan dengan keadaan yang berubah. Perkara diterima di masyarakat atau tidak itu bagaimana antar tokoh politik dan pemerintah tepatnya saling bekerjasama untuk menunjukkan bahwa semuanya adalah bertujuan untuk kemaslahatan rakyat.

Berdasarkan pendapat Abdullah Ahmed an-Naim mengatakan bahwa “the product of a process of interpretation of analogical derivation of the text of the Quran and Sunnah and other tradition”. Jadi disini diartikan bahwa beliau percaya bahwa penerapan aspek-aspek hukum publik.

Syariah historis dalam kehidupan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan luar biasa. Namun, dalam Islam tetap dimungkinkan mengembangkan konsep hukum publik alternatif yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Konsep hukum alternatif itu bisa disebut “syariah modern” artinya ia sama-sama dijabarkan dari sumber-sumber asasi Islam.

Bagi umat Islam syariah adalah tugas manusia yang menyeluruh meliputi moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci. Syariah mencakup semua aspek hukum publik dan perorangan, kesehatan bahkan kesopanan dan akhlak. Menganggap ada bagian syariah yang tidak memadai akan dituduh bid’ah oleh mayoritas umat muslim yang meyakini bahwa keseluruhan syariah itu bersifat Ilahiyah.

Penjelasan diatas mengindikasikan bahwa negara kita bisa menyongsong masa depan yang baik dengan adanya produk-produk hukum yang bernuansa Islami dalam pengaplikasiannya.

Urf sebagai hukum Islam bisa menjadi sumbangsih seperti halnya hukum adat yang ada di Indonesia. Urf bisa menjadi norma dan acuan dalam pembentukan perundang-undangan. Tidak harus melegitimasi syariah seperti halnya Arab Saudi namun setidaknya syariah bisa menjadi nilai-nilai dalam pembentukan hukum konvensional di Indonesia. (*)

M Kurnadi Bonesaputra, Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network