Asyariyyah dan Maturidiyyah Sebagai Manhaj Akidah Salaf (2)

Di masa selanjutnya para ulama pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi ini banyak menulis ratusan jilid kitab dan buku-buku untuk membantah terhadap akidah-akidah menyimpang, semuanya dicetak dengan hujjah-hujjah dan perdebatan-perdebatan yang banyak. Mereka menjungjung panji-panji madzhab Asy’ariy dari timur ke barat.
Diantara yang paling menonjol dalam menyebarkan perjuangan tersebut adalah al-Ustadz Abu Bakar Bin Faruk, Abu Ishaq al-Asfahani dan al-Qadhi al-Imam Abu Bakar al-Baqilani. Dari sejak saat itu, Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai representasi Akidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah menjadi sangat kokoh dan tidak ada lagi aliran-aliran menyimpang kecuali hanya sebagian kecil dari mutazilah, musyabbihah dan khawarij.
Dalam hal keyakinan, asy’ariyyah maupun maturidiyyah memiliki keyakinan yang sama: yakni meyakini bahwa Allah SWT adalah dzat yang maha esa, tiada sekutu baginya. Ia adalah dzat yang wujud (ada), dan adanya Allah tidak sama dengan makhluk. Ia tidak menempati ruang (tempat) dan tidak pula terikat oleh waktu. Tidak ada satu apapun yang bisa menyerupai-Nya. Ia suci dari segala sesuatu yang ada pada makhluk semisal julus (duduk), memiliki tempat untuk berdiam (tinggal), memiliki anggota tubuh dan lain sebagainya. Karena tidak ada sesuatu apapun yang bisa menyerupai-Nya.
Di antara pemegang teguh manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah Asy’ariyah adalah Sultan Salahudin al-Ayyubi.
Sultan Salahuddin al-Ayyubi adalah sosok yang menjunjung tinggi panji-panji agama dengan kejujuran dan motivasi. Ia merupakan sosok mujahid yang shaleh dan bertaqwa. Ia banyak mengajarkan kepada masyarakat untuk bertauhid mengikuti Rasulullah SAW.
Sebagai seorang pemimpin, Shalahudin al-Ayyubi berusaha mengamalkan sabda Nabi:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian..” [HR. Muttafaq ‘Alaih]
Salahudin al-Ayyubi merupakan pribadi-pribadi muslim yang baik. Ia merupakan sosok yang berilmu dengan banyak belajar dari para ulama ahlussunnah Wal jamaah. Ia hafal terhadap kitab at-Tanbih dan kitab al-Hamasah yang di dalamnya berisi tentang fiqih Syafi’i. Ia merupakan sosok Hafiz al-Qur’an. Dikenal sebagai pribadi yang Zahid yang senantiasa melaksanakan sholat malam. Ia tidak terperdaya dengan harta dan hawa nafsu.
Semasa menjadi pemimpin, ia banyak mendirikan madrasah-madrasah sebagai tempat belajar. Masyarakat diajarkan bertauhid agar mengetahui bahwasanya Allah SWT adalah Dzat yang maha kuasa, yang tidak ada satu apapun yang menyerupai-Nya baik dalam dzat, sifat maupun perbuatan-Nya. Salahudin al-Ayyubi menetapkan ajaran Akidah madzhab Asy’ariyyah (ahlussunnah wal jamaah) di madrasah-madrasah tersebut kepada para pelajar baik kecil maupun dewasa.
Selain Sultan Salahudin al-Ayyubi, diantara para pemegang teguh madzhab Asy’ariyah adalah Sultan Muhammad al-Fatih. Yang mana Sultan Muhammad al-Fatih mensucikan Allah dengan tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dimana Allah itu wujud (ada) tanpa tempat dan arah. Ia meyakini kebolehan berziarah kubur ke makam para nabi dan orang-orang shalih serta membolehkan bertabaruk terhadapnya. Begitupun kebolehan bertawasul, yakni memohon kepada Allah dengan dzat para Nabi dan orang-orang shalih yang memiliki keutamaan.
Dalam suatu hadis Rasulullah SAW pernah memuji sosok Muhammad al-Fatih dalam sabdanya:
لَتÙÙØªÙŽØÙ†Ù‘ÙŽ Ø§Ù„Ù‚ÙØ³Ø·Ù†Ø·ÙŠÙ†ÙŠØ©Ù ÙˆÙ„Ù†ÙØ¹Ù…ÙŽ الأمير٠أميرÙها ولنعم الجيش٠ذلك الجيشÙ
“Sesungguhnya kota Konstantinopel akan dibuka (ditaklukkan), sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu”. [HR. Imam Ahmad & al-Hakim]
Konstantinopel kemudian berhasil dibuka dan ditaklukkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih beserta para tentaranya, yang seluruhnya berpegang pada Manhaj Akidah Asy’ariyah (Akidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah).
Ini sesuai dengan prediksi dalam sabd Nabi. Dimana Nabi Muhammad SAW mengatakan kelak Konstantinopel akan dibuka, lantas memuji pembukanya, yakni Sultan Muhammad al-Fatih dan para tentaranya sebagai sebaik-baiknya pemimpin dan sebaik-baiknya tentara. Pujian ini tentu menjadi bukti kebenaran akidah Ahlussunnah Wal Jamaah Asy’ariyah, sebab Nabi Muhammad SAW tidak mungkin memuji orang-orang yang sesat maupun kafir. (*)
Darul Fatwa Australia
Diterjemahkan oleh: Rifqi Marzooqie, Santri Pesantren Mafazah as-Salafiyyah Sindangkerta, Mahasiswa Pascasarjana UNINUS