Takbiran, Tradisi Ulama Salaf yang Harus Dilestarikan

Dulu sekali, ada beberapa masjid yang saya ngisi kalau malam hari raya idulfitri tidak mau takbiran. Alasannya beragam. Ada yang berpendapat takbiran bid’ah secara mutlak, baik sendiri-sendiri atau berjamaah. Ada yang beralasan bahwa takbiran dilarang ketika dilakukan secara berjamaah, kalau sendiri-sendiri boleh. Tapi tetap saja tidak ada takbiran.

Pemahaman ini mungkin mereka dapatkan dari ustad atau dai lain yang sebelumnya mengisi di masjid mereka. Akhirnya, masjid sepi. Bakda isya langsung tutup pintu dan lampu pun dimatikan. Sangat ekslusif. Di saat yang bersamaan, seluruh masjid di sekitarnya takbiran semua. Demikian juga umat muslim di penjuru dunia.

Masyarakat pun menjauh dari masjid-masjid tersebut. Mereka takut. Bagi mereka, masjid dengan kondisi aneh seperti di atas, menyelisihi amaliah mayoritas umat muslim di Indonesia bahkan dunia, menjadi sebuah indikasi bahwa ada yang ‘tidak beres’ di dalam pemahaman pengurusnya. Jangan-jangan aliran sesat. Sesimple itu mereka berfikir. Akhirnya, mereka memilih pindah dan mencari masjid lain untuk shalat lima waktu.

Kesempatan yang ada tidak saya sia-siakan. Saya berusaha untuk menjelaskan masalah takbiran ini kepada mereka. Biasanya saya sisipkan di materi kajian agar tidak terlalu terasa dihakimi. Saya sebutkan dalil-dalilnya dari Qur’an dan Sunah serta pernyataan para ulama dalam masalah tersebut.

Saya paparkan juga bolehnya mengumandangkan takbir secara berjamaah dengan mengutip hadis dan pendapat Imam Syafi’i. Supaya lebih mantap, saya sampaikan bahwa imam Syafi’i itu termasuk ulama Salaf karena beliau hidup di abad ke -3. Mengikuti beliau, berarti mengikut salaf. Baca: Takbiran di Malam Hari Raya: Dalil dan Lafadz Takbir

Selang beberapa waktu, mulai ada perubahan. Sampai akhirnya semua masjid yang saya ngisi kajian di situ sudah mengamalkan takbiran. Bahkan waktu-waktu terakhir ini sangat meriah. Ada yang di masjid, ada yang jalan keliling membawa oncor, dan ada yang keliling naik kendaraan. Pokoknya meriah banget. Sudah kembali seperti semula walaupun sempat vakum beberapa tahun.

Memang, dakwah harus sabar. Butuh waktu yang tidak singkat untuk memahamkan mereka yang sebelumnya telah terdoktrin dengan berbagai pemikiran yang menyelisihi jumhur ulama ahlu sunah wal jamaah, terutama imam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Ini baru satu contoh. Masih banyak contoh yang lainnya.

Takbiran merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun di negeri kita. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Tradisi ini tidak ada pertentangannya dengan syariat. Bahkan setelah diuji, justru masuk perkara yang mustahab (dianjurkan).

Oleh karena itu, sebisa mungkin kita jangan menyelisihi tradisi masyarakat di mana kita tinggal, selama tradisi itu bukan sesuatu yang diharamkan. Dan ini merupakan etika yang baik. Karena kalau kita memaksakan diri untuk menyelisih mereka, dikhawatirkan akan terjadi kegaduhan, pertikaian, permusuhan dan fitnah di tengah-tengah masyarakat muslimin.

Sahabat Ali bin Abi Thalib radliallahu anhu berkata:

هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي

“Ia (etika yang baik) adalah engkau menyelaraskan diri (tidak menyelisihi) tradisi manusia dalam segala hal selain perkara maksiat.” (Syarh Sullam At-Taufiq, Syekh Nawawi Banten)

Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:

و حسن الخلق مع الناس ألا تحمل الناس على مراد نفسك بل تحمل نفسك على مرادهم ما لم يخالفوا الشرع

“Beretika baik kepada manusia adalah engkau tidak memaksa manusia untuk mengikuti kehendakmu, akan tetapi engkau memaksa dirimu untuk sesuai dengan kehendak mereka selama mereka tidak menyelisihi syari’at.” (Ayyuhal Walad, Imam Al-Ghazali)

Alhamdulillah Rabbil ‘alamin. (*)

4 Syawal 1442 H

Terkait

SYARIAH Lainnya

SantriNews Network