Gender dan Jilbab

Oleh: Arif Maftuhin

Ngobrol hampir tiga jam dengan Afi Nihaya Faradisa, nyenggol juga isu gender. Saya juga baru sadar kalau Afi ini perempuan.

Perhatian Afi terhadap gender dapat kita lihat dalam jawaban mengejutkan yang ia berikan saat live di Kompas TV kemarin. Rossi tanya ke Afi, “Kalau kamu punya kesempatan bertemu dengan menteri agama, apa yang akan kamu tanyakan?” Cepat dia menjawab, “Mengapa menteri agama selalu laki-laki?”

Byuh. We take it for granted and she suddenly challenges it. Iya ya. Mengapa tidak pernah memberi kesempatan perempuan untuk duduk menjadi menteri agama? Toh ini cuma jabatan politik, bukan imam salat, bukan Grand Mufti. Apakah hanya laki-laki yang bisa mengelola haji, pendidikan, dan KUA?

Saat ngobrol, isu gender muncul terkait kewajiban berjilbab di UIN Suka, “Jadi,mahasiswi UIN wajib berjilbab?” tanya Afi.

“Ya. Tentu saja, aturannya begitu.” jawab saya.

“Jadi, bukan karena kewajiban Agama?”

“Nah, itu masalah lain. Apakah berjilbab itu kewajiban agama, atau warisan tradisi Arab, ada ruang untuk mendiskusikan.”

“Saya kira, jilbab itu tradisi. Bukan kewajiban agama.” Dengan cepat Afi mengajukan pendapatnya, seperti yang bisa Anda saksikan di Youtube dalam beberapa kesempatan.

“Jilbab itu konstruksi kuasa lelaki. Lalu menjadi tradisi.” Lanjutnya. Bau analisis gender kemudian tersebar di ruangan kami ngobrol.

Kami diskusi lebih serius tentang topik ini berapa menit. Tidak sempat saya rekam dengan baik. Tetapi banyak sisi kritis yang sempat kami sisir untuk menjawab apakah jilbab itu syar’i atau tradisi.

Namun. Biarlah percakapan rincinya kami simpan. Susah ngomong yang tajam-tajam begitu di sini. Kasihan Afi. Orang baru ingin tahu nanti sudah dibully.

Saya kira Afi bisa menemukan sebagian jawaban diskusi itu dalam tulisan saya berjudul: Menyingkap Stuktur Makna Pakaian Arab

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network