70 Tahun TNI

Perempuan dan Jilbab dalam Sejarah TNI

Prajurit perempuan TNI saat berlatih dengan mengenakan jilbab (santrinews.com/dok)

Bak mendapat angin segar, Wanita TNI (Wan-TNI) diperbolehkan mengenakan jilbab pada saat bertugas oleh mantan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.

Hal ini ia sampaikan langsung saat memberikan pengarahan untuk seluruh prajurit TNI bersama istri se-Sumatera Utara di hangar Lapangan Udara Soewondo, Medan, setelah menjawab pertanyaan seorang Wan TNI berpangkat Kapten, Kes Dastria soal penggunaan jilbab, pada 22 Mei 2015 lalu.

Dengan tegas ia nyatakan bahwa TNI tidak melarang penggunaan jilbab dan meminta agar tidak meributkan hal tersebut. “Pakai saja, kita nggak melarang kok. Wanita TNI mau pakai jilbab, pakai saja. Kalau pakaian dinas memakai jilbab, memang kita pernah melarang? Nggak usah ribut. Itu urusan masing-masing,” begitu katanya.1

Namun, ternyata pernyataan tersebut hanyalah harapan kosong, seminggu kemudian, Moeldoko mengklarifikasi pernyataannya yang telah ia sampaikan langsung di hadapan ribuan orang. Ia mengatakan penggunaan jilbab dalam bertugas hanya untuk anggota Wan TNI yang sedang bertugas di Aceh dan bagi Wan TNI yang ingin berjilbab tinggal mengajukan ke atasannya untuk bertugas ke Aceh.

Sementara menurut ketua Komisi I DPR RI, Drs. Mahfudz Siddiq, pembahasan jilbab TNI sendiri di DPR sudah lama dibahas sejak tahun 2004. Perkembangan terakhir soal jilbab TNI, staf PNS TNI sudah diperbolehkan untuk mengenakan jilbab, walau untuk prajuritnya belum diperbolehkan.3

Padahal, jauh sebelumnya, pada tahun 1945, Rahmah El Yunusiyyah sudah memakai jilbab secara sempurna saat ia membidani lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Padang Panjang yang merupakan cikal bakal TNI. Jilbabnya yang lebar dengan baju kurungnya tidak menjadi penghalang baginya untuk menjadi pengayom barisan-barisan pejuang yang dibentuk oleh organisasi-organisasi Islam pada waktu itu, antara lain Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.4

Delapan tahun sebelum TNI lahir, Rahmah juga telah memperjuangkan pemakaian jilbab saat mengikuti Kongres Perempuan Indonesia kedua di Jakarta pada tahun 1935. Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang menuliskan dalam Biografi Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy, Rahmah bersama salah seorang pengurus Permi (Persatuan Muslim Indonesia) Ratna Sari yang menjadi Wakil dari Kaum Ibu Sumatera Tengah, memperjuangkan soal kerudung dalam kongres tersebut.5

Prof Drs H Amura dalam tulisannya Rahmah El Yunusiyyah di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945 1950) juga mencatat, Rahmah yang saat itu usianya sudah mencapai 45 tahun, ketegarannya tidak kalah dengan kaum pria. Bungsu dari lima bersaudara ini tampil sebagai salah seorang pelopor untuk mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Padang Panjang dengan pembiayaannya sendiri.

Ia juga mengambil harta kekayaannya untuk memberi makan pemuda-pemuda yang dilatih menjadi TKR. Kemudian di daerah Padang Panjang terbentuklah suatu kesatuan TKR yang kemudian dikenal dengan sebagai inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim yang pada akhir hayatnya berpangkat Brigadir Jenderal TNI.

Mantan Kepala Bagian Penerangan Resimen VI Padang Panjang ini juga menuturkan, ketika pembentukan TKR untuk Sumatera Tengah (minus Jambi yang masuk Sumatera Selatan), pada tanggal 1 Januari 1946, para pemimpin TKR mengadakan rapat di Padang Panjang. Dari hasil rapat tersebut, mereka menetapkan Sumatera Tengah mempunyai kesatuan yang diberi nama Divisi III Banteng dan berada di bawah pimpinan Komandan Divisi Kolonel Dahlan Jambek. Divisi III ini mempunyai empat resimen.

Resimen I mempunyai tiga Batalyon, sedangkan Batalyon I “Merapi” berada di bawah pimpinan Mayor Anas yang berkedudukan di Padang Panjang. Walau kemudian kesatuan tentara di Sumatera Tengah berubah namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan akhirnya menjadi TNI, namun Padang Panjang tetap memegang posisi dan kiprah Rahmah El Yunusiyyah dalam membidani TKR Padang Panjang tetap diakui dalam sejarah.6

Tidak hanya Rahmah, sebelum kemerdekaan sampai paska kemerdekaan, para perempuan di Sumatera Tengah juga turun dalam medan peperangan dan bergabung dalam kelaskaran yaitu Laskar Muslimat dan Laskar Sabil Muslimat. Laskar Muslimat merupakan bagian dari LASMI (Laskar Muslimin Indonesia) bentukan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan Laskar Sabil Muslimat merupakan bagian dari Muhammadiyah, dua laskar ini adalah dua organisasi kelaskaran Muslimah yang pernah dimiliki Indonesia.

Kowani dalam Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia mencatat, pelantikan-pelantikan Laskar Muslimat ini antara lain diadakan di Bukittinggi, Padang, Solok, Sawahlunto, Bangkinang, Kampar, Kerinci. Dalam pelantikan-pelantikan ini mereka memakai pakaian seragam sarung batik, baju dan kerudung putih. Tugas-tugas mereka antara lain ikut serta berjuang di garis depan, masuk hutan keluar hutan, masuk kampung keluar kampung dan mengikuti Longmarch dari bukit ke bukit dan dari gunung ke gunung.7

Ada pula Laskar Sabil Muslimat, aktivitas Laskar Sabil Muslimat terbagi dua, garis depan dan garis belakang. Tugas mereka yang berada di garis depan ialah mempertahankan diri, menjadi bagian dari palang merah, menyelenggarakan dapur umum, sebagai intel (memasuki daerah musuh), memberikan penerangan dan membina mental anggota. Sedangkan tugas mereka yang berada di garis belakang antara lain melatih kader-kader, mencari dan mengumpulkan bahan makanan dan menjaga keamanan selama orang shalat Jumat di wilayah Sumatera Tengah.8

Sama halnya dengan Laskar Muslimat, Laskar Sabil Muslimat juga berjuang membela dan mempertahankan negara dengan memakai kerudung. Hamka dalam bukunya Tjemburu (Ghirah) menuliskan kesaksiannya, bagaimana di tanah kelahirannya, Minangkabau, perempuan-perempuan Aisyiyah memakai kerudung.

“Di Minangkabau saja melihat “Sabil Muslimat” : Gadis2 pakai kudung dari sekolah Aisjijah menjadi Sabil Muslimat”.9

Mengenai Sabil Muslimat, salah satu anak tokoh Muhammadiyah, A.R. Sutan Mansur dari istri keduanya, Aisyah Rasyid pada waktu revolusi meletus ikut bergabung dalam Sabil Muslimat. Ia bergabung di bawah pimpinan Kolonel Syamsiah Syam. Peristiwa ini berlangsung sebelum Indonesia merdeka, yaitu sekitar tahun 1942 sampai 1945.10

Sementara di Sulawesi Selatan, terdapat salah seorang mujahidah berjilbab bernama Opu Daeng Risaju dengan nama kecil Famajjah yang lahir di Palopo pada tahun 1880. Penulis Biografi Opu Daeng Risaju : Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia, Drs. Muhammad Arfah dan Drs. Muhammad Amir, menyebutkan Opu Daeng Risaju dinamakan Opu karena ia keturunan bangsawan dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe Maraja yaitu Gowa, Bone dan Luwu dan gelar tersebut diberikan setelah ia menikah.11

Pada 14 Januari 1930, ia menjadi ketua Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) untuk cabang Palopo, Sulawesi Selatan. Walau tidak banyak cerita mengenai dirinya saat menjadi TNI namun pada tahun 1950, ia pernah menjadi anggota TNI dengan pangkat terakhir sebagai Pembantu Letnan berdasarkan surat keputusan pemberhentiannya tanggal 25 Maret 1950 dengan Nomor 0066/Kmd/SKP/XVI/50 yang dilampirkan dalam buku Biografinya.12 Kemudian dalam situs Kementerian Sosial, Opu Daeng Risaju masuk dalam daftar pahlawan nasional pada 03 November 2006 lalu dengan Keppres No. 085/TK/2006.13

Perjuangan tanpa henti untuk negara yang diperlihatkan oleh pejuang-pejuang berjilbab ini seharusnya tidak membuat TNI lupa akan sejarah bahwa pernah ada tentara-tentara wanita yang berjilbab dan salah satunya merupakan pelopor TKR Padang Panjang. Tidak seharusnya pula Wan TNI dihalangi untuk berjilbab, terlebih dalam Pasal 28 I ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sudah dinyatakan bahwa warga negara berhak dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut. (*)

Referensi
[1] Panglima TNI Perbolehkan Prajurit Perempuan Berjilbab, Detik.com, diakses 03 September 2015.

[2] Panglima TNI: Jilbab Hanya untuk Anggota TNI Perempuan di Aceh, Kompas.com, diakses 03 September 2015.

[3] Wawancara dengan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq setelah selesai acara Seminar Relevansi Bela Negara dalam Konteks Kekinian di Lobi Auditorium Joko Sutono, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 03 Oktober 2015.

[4] Aminuddin Rasyad, et. al., Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia: Riwayat Hidup, Cita-cita dan Perjuangannya, (Jakarta: Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, 1991), hlm. 61.

[5] Ibid, hlm. 77.

[6] Amura, Rahmah El Yunusiyyah di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945 1950) dalam Aminuddin Rasyad, et. al., Hajjah Rahmah, hlm. 113.

[7] Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hlm. 80.

[8] Ibid, hlm. 81.

[9] Hamka, Tjemburu (Ghirah), (Jakarta: Firma Tekad, 1961), hlm. 17.

[10] Aisyah Rasyid, Dari Sungai Batang Maninjau dalam buku Biografi Ahmad Rasyid Sutan Mansyur (Buya Tuo): Dari Pergulatan Ideologis ke Penguatan Aqidah, Pahlawan Kayo, RB Khatib., Bakhtiar, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), hlm. 62.

[11] Muhammad Arfah dan Muhammad Amir, Opu Daeng Risaju: Perintis Pergerakan Kebangsaan Kemerdekaan Republik Indonesia, (Ujung Pandang: Pemerintah Daerah Propinsi Tingkat I, 1991), hlm. 39 dan 40.

[12] Kementerian Sosial, Daftar Nama Pahlawan Nasional, http://k2ks.kemsos.go.id/wp-content/uploads/2015/01/Daftar-Nama-Pahlawan-Nasional.pdf, (diakses 04 Oktober 2015).

[13] Muhammad Arfah dan Muhammad Amir, Opu Daeng, hlm. 103. – See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2243097/perempuan-dan-jilbab-dalam-sejarah-tni#sthash.1Lsk4He9.dpuf

Sumber: jejakislam

Terkait

Fokus Lainnya

SantriNews Network