SKB Jilbab dan Peran Negara

Kalau kita baca kitab klasik, kita sering disuguhi ungkapan begini: maqshudul imamati hirasatud din wa siyasatud dunya. Tujuan dibentuknya negara adalah menjamin keberlangsungan ajaran agama dan mengatur urusan dunia.
Adagium simpel ini adalah hal yang mujmak alaih, disepakati. Bahwa pemerintah harus menjamin rakyatnya untuk melaksanakan ajaran agama. Yang muslim, misalnya. Ya harus dijamin agar melaksanakan syariatnya.
Baca juga: Ijtima Ulama MUI: Wajib Hormati Lembaga Negara
Tapi saya ingatkan, negara hanya MENJAMIN, BUKAN MELAKSANAKAN. Keduanya berbeda, yang pertama berarti negara harus memfasilitasi. Dan yang kedua berarti negara harus menjadi eksekutor.
Tentu yang kedua ini yang harus kita tolak. Kalau negara menjadi eksekutor untuk ajaran agama yang sifatnya privat dan tak ada sangkut pautnya bagi kepentingan umum, maka kehadiran negara bisa mengancam.
Sebenarnya inilah yang saya pahami dari tulisan-tulisan Gus Dur dan ceramahnya. Kehadiran negara adalah menjadi fasilitator bagi siapa pun yang hendak melaksanakan ajaran agama. Berjilbab, misalnya. Negara harus menjadi penjamin bahwa tak boleh ada yang dilarang berjilbab. Karena sifatnya hanya penjamin, negara juga tak boleh ikut campur jika ada yang tak berjilbab.
Loh berarti kita hidup di negara yang mendukung kemaksiatan? Oh tidak begitu.
Negara bukannya mendukung, tapi sukut alias diam. Terserah, monggo-monggo saja. Diam dengan mendukung ini jelas beda. La yunsabu li sakitin qoulun, orang yang diam tak bisa dihukumi.
Baca juga: PBNU: Negara Berjubah Agama Pemimpinnya Cenderung Otoriter
Lantas apa peran negara dalam mewujudkan manusia yang bertakwa? Jawabannya, ya itu tadi: negara menjamin rakyatnya melaksanakan ajaran agama. Termasuk jaminan negara adalah kita boleh berdakwah ajaran agama.
Jadi negara secara sederhana “mendukung pemakaian jilbab, tapi silahkan dilakukan itu semua secara kultural, dakwah, dan jangan bawa institusi kenegaraan untuk melaksanakannya”.
Dalam Ghiyatsul Umam, Imam Al-Juwaini mengatakan jika ajaran agama yang sifatnya seremonial (syi’ar dzahir) maka di kalangan ulama fikih (fuqaha) ada perbedaan: ada yang berpendapat negara boleh memaksa mereka, dan ada yang berpendapat tidak boleh.
Kata Juwaini: wa hadza mujtahadun fih. Ini wilayah yang bisa diperdebatkan. Dan Gus Dur memilih bahwa hal ini tak boleh dipaksakan.
Jadi jelas ya: negara menjamin rakyatnya melaksanakan ajaran agama, tapi negara tak boleh menjadi pelaksana (tentu saja ada detail yang harus dijelaskan yang tak mungkin dibahas dalam tulisan singkat ini). (*)
Kholili Kholil, Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.