Kehancuran Negara Arab Berawal dari Bendera Tauhid
Kemarin saya mendiskusikan masalah bendera tauhid dengan seorang sahabat asal Hudaidah, salah satu kota di Yaman Utara yang sampai sekarang dilanda konflik tiada henti.
Di daerah-daerah konflik di sana bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid juga banyak tersebar, hanya saja di sana panji hitam bukan menjadi bendera HTI, melainkan bendera Al-Qaeda.
Saya tanya, “Al-Qaeda di Syimal, Yaman Utara bukankah juga mempunyai bendera?”
ㅤㅤ
“Iya punya. Bendera Hitam bertuliskan La ilaha illallah,” jawabnya.
Saya lalu menceritakan kepadanya kehebohan di Indonesia akibat pembakaran bendera tauhid tempo hari lalu, tanggapanya benar-benar di luar dugaan.
ㅤㅤ
“Aadii..(Biasa saja),” ucapnya santai.
“Di Aden atau di Hudaidah pembakaran bendera-bendera hitam seperti itu sudah biasa terjadi. Mereka menyita dan mengumpulkan bendera-bendera itu dalam suatu tempat, menyiramnya dengan bensin lalu membakarnya.”
“Siapa yang melakukannya?,” saya tanya.
Dia jawab, “Pemerintah. Masyarakat juga turut andil, bahkan di daerahku sebagian masyayikh juga melakukan itu.”
Saya tanya lagi, “Mereka yang membakar juga Ahlussunnah?”
“Iya.”
ㅤㅤ
“Maa had takallam? (Tidak ada yang berkomentar atas pembakaran itu)?”
ㅤㅤ
“Tidak ada. Biasa aja, bendera-bendera itu adalah penyebab fitnah, jadi sudah seharusnya dilenyapkan, kami mengqiyaskannya dengan Masjid Dhiror,” begitu pendapatnya.
Saya juga menceritakan masalah ini kepada murid-murid saya yang berasal dari Yaman Utara. Salah satu dari mereka bernama Ahmad, berasal dari kota Mahwith.
Ia tampak terkejut ketika mendengar cerita saya, tapi bukan karena insiden pembakaran bendera (karena menurutnya, pembakaran bendera hitam di daerahnya sudah lumrah dan biasa). Ia malah terkejut karena satu hal: Kok bisa bendera seperti itu ada di Indonesia?
Setelah kami bertukar cerita panjang lebar, dengan raut wajah sedih ia berkata: “Allah Yarhamkum ya ustadz. Semoga Allah mengasihani kalian para penduduk Indonesia ustadz. Wallahi, Jika bendera-bendera hitam itu mulai tersebar di negara kalian, itu pertanda awal dari semua kekacauan.” (*)
Gus Muhammad Ismail Kholil, Alumni Darul Mushtafa, Tarim, Yaman.