Pro-Kontra dan Awal Mula Penemuan Bujuk Melas, Makam Leluhur Kiai Madura-Tapal Kuda

JEMBER, SantriNews — Keberadaan Bujuk Melas di Dusun Manggung Desa Sumberjati Kecamatan Silo, Jember, memunculkan pro-kontra di masyarakat. Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo KH Azaim Ibrahimy bahkan menaruh perhatian serius.

Makam itu diyakini makam Fatimah Binti Abdullah al Anggawi, perempuan yang melahirkan para kiai berpengaruh di Madura dan Tapal Kuda, Jawa Timur.

Secara khusus Kiai Azaim memanggil Wakil Ketua Pusat Ikatan Keluarga Santri dan Alumni Salafiyah Syafi’iyah (IKSASS) KH Misbahus Salam untuk menyampaikan tanggapannya.

KH Misbah mengatakan, Kiai Azaim sangat prihatin dengan keberadaan Bujuk Melas karena menimbulkan pro-kontra terkait keabsahan makam tersebut, dan sedikit banyak telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

“Beliau (Kiai Azaim) menaruh perhatian besar terhadap masalah Bujuk Melas ini,” kata Kiai Misbah, di Jember, Sabtu, 17 Februari 2018.

Untuk menghindari pro kontra tersebut, katanya, Kiai Azaim mengimbau agar pihak-pihak yang berkompeten melakukan penelitian terhadap keberadaan Bujuk Melas. Penelitian tersebut menyangkut bukti fisik jasad dan sebagainya.

“Bila perlu adakan uji forensik dengan teknologi modern. Jangan sampai masyarakat tertipu karena hanya opini,” kata Kiai Misbah.

“Jangan sampai masyarakat tertipu karena hanya opini, tanpa data serta bukti yang akurat.”

Hal senada juga disampaikan Ketua IKSASS Rayon Jember Kiai Abdul Aziz. Menurutnya, keberadaan makam Bujuk Melas itu masih menimbulkan pro-kontra.

Ia mengimbau sebaiknya masyarakat tak terburu-buru meyakini dulu sebelum ada bukti-bukti faktual, akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.

“Kiranya masyarakat tak perlu yakin dulu. Terkait dengan Bujuk Melas dalam sejarah memang ada, tapi makamnya belum pasti di Garahan,” kata Kiai Aziz.

Temuan Hasil Istikharah
Makam Bujuk Melas ditemukan pada akhir 2016. Entah siapa yang memulai, sejak saat itu makam tersebut ramai dikunjungi orang. Bahkan saat digelar haul Mbah Bujuk Melas untuk pertama kali pada Selasa lalu, ribuan peziarah memadati sekitar area makam.

Para peziarah yakin bahwa makam tersebut adalah makam Bujuk Melas yang notabene seorang wali dari Madura.

Konon, 19 orang keturunan Bujuk Melas telah melakukan istikharah. Dari pertanda yang datang dalam istikharah tersebut, diyakini bahwa makam tersebut betul makam Fatimah binti Abdullah bin Yusuf Al-Anggawi, nama lain dari Bujuk Melas. Nama tersebut kemudian ditulis di samping makam sang bujuk.

“Sebelumnya [saat proses istikharah] para kiai [19 orang keturunan Bujuk Melas] masih belum yakin itu makam laki-laki atau perempuan. Alhamdulillah, tidak berapa lama ada seorang anak kecil di dekat makam tiba-tiba ketakutan dan mengadu sama bapaknya [peziarah] dari dalam makam itu bangun perempuan berambut panjang. Itu yang membuat kami yakin yang terkubur di situ perempuan,” kata Afdillah Ainul Yakin, salah satu dari 19 Pejuang Silsilah Bujuk Melas.

Sebelumnya warga sekitar bingung, siapakah tokoh yang dimakamkan sendirian di tempat tersebut. Ada yang menilai, itu makam seorang habib asal Turki. Ada pula yang menganggap makam tokoh keramat. Bahkan, beberapa tahun belakangan tempat tersebut seringkali dipakai untuk bertapa.

Tak ada yang meyakini, kuburan di tengah hutan itu adalah sosok perempuan yang memiliki sejarah panjang. Yakni, sekitar 210-270 tahun silam Makam tersebut baru ditemukan urutan sejarahnya, setelah tim pencari Bujuk yang juga keturunannya melakukan upaya pencarian.

“Awal September 2016, para keturunan Bujuk Melas dari Bani Itsbat Banyuanyar Madura yang terdiri dari 18 orang mencarinya,” kata KH Miftahul Arifin Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Suren, Ledokombo. Mereka membentuk tim untuk mencari makam leluhurnya.

Tim itu dipimpin oleh KH Abdullah Choliq, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Wirowongso. Mereka melacak makam Fatimah yang merupakan istri dari Sayyid Abd Akhir Sumenep Madura. Pencarian itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Ada tiga makam yang bernama Bujuk Melas. Pertama di kawasan Arak-arak Bondowoso. Kemudian di kawasan Baluran Banyuwangi, serta di Jember ini,” ujarnya.

Setelah menelusuri kedua lokasi awal, ternyata bukan Bujuk Melas yang dimaksud bukan leluhur mereka. Makam yang dikira Bujuk Melas di Bondowoso, merupakan dua pasangan suami istri kaya raya yang dirampok dan dikuburkan di sana.

“Bujuk Melas itu istilah yang disebut warga. Bujuk artinya buyut. Melas artinya sedih. Disebut Bujuk Melas karena nasibnya yang sedih,” jelas pria yang akrab disapa Lora Miftah tersebut.

Kemudian, tim itu terus melakukan pencarian makam sesuai dengan petunjuk KH Barmawi Min Ma’lum, sesepuh keturunan Fatimah di Sumenep yang sekarang menjadi penjaga makam Sayyid Abd Akhir, suami dari Fatimah atau Bujuk Melas.

Pada April 2017 lalu, tim tersebut berhasil menemukan Makam Bujuk Melas di tengah hutan di Desa Sumberjati. Namun, mereka masih melakukan penggalian data untuk memastikan, serta mengorek seluruh informasi dari masyarakat sekitar Desa Garahan, Sumberjati dan Sidomulyo.

Setelah melihat beberapa catatan sejarah dan data yang dikumpulkan, tim tersebut menyimpulkan jika makam tersebut adalah makam leluhurnya. Yakni, makam Fatimah Binti Abdullah Al Anggawi istri dari Sayyid Abdul Akhir. “Dulu kami sering ziarah ke Makam Sayyid Abdul Akhir, lalu penasaran istri beliau di mana,” akunya.

Sumber lain menyebutkan menyebutkan bahwa istri Sayyid Abdul Akhir tertulis sejak dulu di Patobin Arongan dan bukan Nyai Fatimah bin Abdullah. Makamnya juga bukan di Garahan.

Selain penggalian data, ada beberapa isyaroh yang menunjukkan makam tersebut adalah Bujuk Melas yang mereka cari. Seperti, berada di bawah pohon yang menaungi makamnya. “Makam Sayyid juga sama, dinaungi pohon,” ujarnya.

Sementara itu KH Abdullah Choliq menjelaskan, Fatimah binti Abdullah Al Anggawi juga disebut dengan Nyai Bajem yang merupakan keturunan Rasulullah SAW. ”Perempuan yang ahli ibadah, berperawakan etnis Arab yang cantik, gigih menjaga syariat Islam dan patuh terhadap suaminya,” ujarnya, menceritakan.

Namun, kecantikan tersebut membuat salah seorang pangeran Keraton Sumenep tergila-gila dan berencana untuk merebutnya dari sang suami asli. “Saat itulah Bujuk Melas menawarkan diri untuk kabur dari Sumenep,” ungkapnya.

Meskipun terasa berat, namun sang suami memberikan izin agar istrinya meninggalkan kampung halamannya dan pergi jauh ditemani tujuh santrinya. “Tetapi dengan syarat harus bermukim di tengah hutan yang jauh dari perkampungan, agar bisa terhindar dari kejaran prajurit keraton,” paparnya.

Riwayat Bujuk Melas sesuai yang tercantum di samping makam bernama Fathimah binti Abdullah bin Yusuf Al Anggawi, disebutkan sampai bersambung pada Sayyidina Hasan bin Fathimah binti Muhammad SAW. Versi lain menyebutkan bahwa Bujuk Melas adalah putri dari Bujuk Korseh Parebbaan Ganding Sumenep.

Sedangkan suami Syarifah Fathimah adalah Sayyid Abdul Akhir bin Dzu Shidqi bin Abdul Karim bin Syits bin Zainal Abidin, bin Khotib bin Qosim [Sunan Drajat] bin Ahmad Rahmatullah [Sunan Ampel] sampai bersambung pada Sayyidina Hussain bin Fathimah binti Muhammad SAW.

Dalam catatan para kiai, perempuan tersebut yang melahirkan dua putra, yakni Kiai Abdul Qorib dan Kiai Harun. “Dari Kiai Abd Qorib melahirkan putra bernama Kiai Ismail,” ujarnya.

Kiai Ismail itu melahirkan beberapa kiai besar. Seperti Kiai Zainudin dan Nyai Nursari, Nyai Murdhiyah, Nyai Rabi’ah, Nyai Halimah, dan Kiai Syihabuddin. Banyak pendiri pesantren besar di Madura dan Tapal Kuda yang lahir dari sesepuh tersebut.

Misal, dari Nyai Nursari itu lahir para pengasuh Pondok Pesantren Kembangkuning, Pesantren Azzubair Sumberanyar Pamekasan, Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Pesantren Nurul Jadid Paiton, Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, Pesantren Nurul Isalm Jember, Pesantren Sletreng Situbondo, Pesantren Al Amin Prenduan, dan Pesantren Nurul Quran, Rowotamtu.

Kemudian, dari Nyai Halimah lahir para kiai Pondok Pesantren Panyeppen, Pesantren Bettet, Pesantren Banyuputih Lumajang, dan Pesantren Bulugedding.

Di Jember, lahir pendiri Pondok Pesantren Al Wafa Tempuran, Pesantren Bulu Gading Bangsalsari Jember, Pesantren Madinatul Ulum Cangkring, dan Pesantren Al Inaroh Kemuning. (red)

Terkait

Fokus Lainnya

SantriNews Network