Babad Sewulan, Ki Ageng Basyariyah: Sosok Leluhur Para Pejuang Peradaban Nusantara

Mempelajari sejarah sangatlah penting, baik terkait biografi tokoh dan semangatnya, ajaran dan filosofi yang membentuknya serta pelajaran dan hikmah yang ditinggalkannya.

Al Qur’an sendiri banyak menceritakan sejarah, ajaran dan tauladan pribadi para nabi maupun kisah-kisah orang-orang terdahulu agar menjadi Ibrah dan hikmah bagi umat manusia di masa kini, maupun di masa yang akan datang.

Dengan mengkaji sejarah kita akan menyadari posisi kita dalam arus waktu, ilai-nilai dan semangat masa lalu yang membentuk kedirian kita saat ini, perubahan-perubahan yang sudah terjadi dan akan terjadi. Bahkan masa depan yang akan terjadi.

Agama juga tidak luput dari arus sejarah. Adanya asbabun nuzul dalam ilmu al Qur’an dan asbabul wurud dalam ilmu hadis menunjukkan betapa penting mempelajari sejarah. Bahkan dalam tasawuf islam disebutkan nur Muhammad lebih awal diciptakan dari pada Adam. Namun, Allah menciptakan Adam sebagai abul basyar-Nya.

Syariat penyempurna ajaran para Nabi, adalah syariat Nabi Muhammad, namun Allah mengawali tatanan dunia ini dengan syariat-syariat nabi sebelumnya. Hal ini menjadi isyarat, bahwa apa yang terjadi di masa datang, baru dapat disempurnakan dengan menerima, menghormati, menghargai dan melanjutkan himmah, cita-cita dan jalan yang sudah dirintis oleh orang-orang terdahulu.

Buku Babad Sewulan ini sangat menarik karena menceritakan tokoh Kyai Bagus Harun yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Basyariyah. Sosok yang banyak melahirkan generasi emas bagi peradaban bangsa Indonesia. Beberapa di antara mereka kiprahnya tidak sekedar lokal, tetapi nasional bahkan internasional. Beberapa terlibat dalam pergolakan fisik masa kerajaan dan banyak juga terlibat dalam pergolakan fisik kemerdekaan Indonesia dan peradaban sesudahnya.

Buku ini berupaya memberi kajian yang mendalam dan menyeluruh dalam menguak sejarah Kyai Bagus Harun sejak prakondisi yang membentuk pribadi beliau, yaitu dimulai dari biografi Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Kyai Muhammad Besari dan lain-lain. Mengkaji sejarah keberadaan Pondok Tegalsari, ajaran tasawuf dan kejawen yang melingkupi dan membentuk pribadi Bagus Harun. Dan diakhiri dengan menyajikan tokoh-tokoh besar yang merupakan keturunan beliau.

Kyai Bagus Harun sendiri, merupakan sosok yang unik. Beliau pemegang peranan kunci dalam kembalinya kekuasaan Kasunanan Pakubuwono II hingga hendak dijadikan Adipati Banten. Namun setelah keberhasilannya mengembalikan tahta tersebut, beliau memilih kembali ke pesantren. Bahkan hadiah dari Sunan Pakubuwono II juga diserahkan kepada gurunya yaitu Kyai Muhammad Besari, namun sang guru menolaknya. Kisah ini cukup menarik karena dipenuhi mitos tentang berdirinya masjid Sewulan yang bermakna Seribu bulan atau Lailatul Qodar.

Bercermin pada keputusan Kyai Bagus Harun yang memilih sabdo pandito ratu setelah kemenangannya, penolakan hadiah dan penyerahannya kepada sang guru lalu kembali menjalani kehidupan nyantri hingga diakhiri dengan kisah berdirinya masjid Sewulan, sangat lekat dengan spiritual Islam. Dan memang benar, beliau adalah pengikut tarikat Sattariyah yang telah berinteraksi dengan kejawen dan kerajaan.

Beliau menjadi bukti tersendiri, bahwa perubahan peradaban masyarakat, perubahan peradaban kerajaan dan perubahan peradaban bangsa Indonesia sangat diwarnai oleh nilai-nilai spiritual keislaman. Dan menjadi fakta sejarah bagaimana spirit agama khususnya tasawuf dan sufisme dapat menjadi lokomotor perubahan, tidak sebagaimana yang dituduhkan sebagian golongan.

Membaca buku ini kita akan dibawa pada mozaik sejarah peradaban Islam di Nusantara. Percikan sejarah perkembangan kerajaan Islam Mataram dan Kartasura, posisi pesantren dalam perubahan masyarakat, persinggungan kejawen dan Islam, bahkan cikal bakal tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Saya sangat mengapresiasi hadirnya Babad Sewulan ini, bukan saja karena saya merupakan bagian dari keturunannya yang disinggung dalam buku ini (Kiai Dimyati Romli) yang hanya akan membawa kita pada tafakhur, namun lebih dari itu, dikarenakan buku ini membutuhkan penelitian yang panjang dan melelahkan untuk mengonfirmasi cerita, berita, mitos dan legenda yang seperti buih yang tentunya justru akan menutupi hikmah dan mutiara yang akan sangat berguna bagi semua orang, terutama bagi kajian-kajian keislaman, kepesantrenan, kejawen dan kebudayaan Indonesia. Dan kemanfaatan bagi kemaslahatan umat itulah yang paling utama dari hadirnya buku ini, sebagaimana firman Allah:

“Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan”. (QS. Ar-Ra’d Ayat 17)

Sejarah akan selalu berubah, perubahan merupakan keniscayaan yang lekat dengan sifat waktu, lokasi dan dipengaruhi kondisi. Manusia harus dapat hidup di dalam arus perubahan tersebut. Dalam kebijaksanaan Jawa, sejarah adalah jagat gede yang momentumnya ditentukan oleh Tuhan, sedangkan manusia bukanlah apa-apa di hadapan-Nya dan di hadapan sekanario-Nya.

Adapun manusia itu sendiri merupakan jagat cilik yang menjadi obyek sekaligus subyek perubahan. Manusia harus pandai memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk. ‘Menungso Kudu iso ngintir, tapi ojo kintir’, sebuah pesan yang sering ayah saya pesankan kepada jamaah tarikatnya. Sejarah dan tradisi yang sudah ada merupakan takdir dan sekaligus tantangan.

Sejarah dan tradisi masa lalu adalah merupakan hasil ijtihad dan dialektika pendahulu yang dibentuk dan membentuk sistem nilai, sistem rasa kita, dan masa depan adalah tantangan manusia masa sekarang untuk menjadikannya lebih baik dan lebih sesuai dengan masa di mana kita hidup. Kita harus dapat menjaga tradisi dan warisan sejarah yang baik sekaligus dapat mengambil dan beradaptasi dengan masa depan yang lebih baik lagi.

Perubahan dalam sejarah harus kita sikapi dengan bijak. Kita dituntut untuk mengetahui mana yang ‘tsabit’ tetap, prinsip dan tidak berubah, dan mana yang ‘mutaghayyar’ yaitu harus berubah dengan perkembangan waktu, situasi dan kondisi. Kita harus pandai beradaptasi dan akomodatif bahkan inovatif. Teguh pada prinsip tetapi fleksibel dan elastis terhadap hal-hal yang mutaghayyirat. Sehingga kita dapat selaras dengan zaman dan dapat menghargai perubahan bahkan berpartisipasi di dalamnya ketika perubahan itu selaras dengan sabda Nabi:

“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR Muslim dalam kitab Shahihnya).

Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca sekaligus menjadi bekal melanjutkan kehidupan berdasarkan sirah perjalanan hidup Kyai Bagus Harun yang sangat lekat dengan unsur-unsur keislaman dan kearifan lokal.

Selamat untuk sahabat dan saudara saya Muklisina Lahudin atas terbitnya karya perdananya ini. (*)

Data Buku
Judul: Babad Sewulan, Jejak dan Ajaran Bagus Harun
Penulis: Muklisina Lahudin
Penerbit: Quantum, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2021
Tebal: xxviii + 276 halaman

Dr KH M Afifuddin Dimyathi, pakar tafsir, dewan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang

Terkait

Buku Lainnya

SantriNews Network