Catatan Sejarawan Yaman tentang Nusantara di Masa Hindia-Belanda

Ditulis pada tahun 1936 M oleh Shalih ibn ‘Ali al-Hamid, buku ~_Rihlah Jâwâ al-Jamîlah wa Qishshah Dukhûl al-Islâm ilâ Syarq Âsiyâ_ (Perjalanan [ke] Nusantara yang Elok, dan Cerita Masuknya Islam ke Timur Asia) ini memberikan kita informasi yang kaya, penting, dan langka akan gambaran Nusantara pada masa penjajahan Belanda ditinjau dari sudut pandang seorang pelancong asing.
Al-Hamid, seorang sejarawan dan sastrawan besar dari Yaman, melancong ke Nusantara setahun sebelumnya (1935 M), dalam sebuah misi kebudayaan. Saat itu Nusantara masih berada di bawah kekuasaan penjajah Belanda.
Al-Hâmid masih menggunakan terma “Jawa” untuk menunjukkan “Nusantara”—terma yang khas digunakan sejak zaman pertengahan (medieval ages) oleh para pelancong Arab dan Eropa. Hingga saat itu, di dunia Arab kata “Jawa” masih digunakan untuk mengartikan wilayah Nusantara-Asia Tenggara. Para pelajar dan pengajar asal Nusantara di Masjid al-Haram (Makkah) dan Al-Azhar (Kairo) juga disebut dengan al-Jawiyyun (orang-orang Jawi-Nusantara).
Dalam beberapa artikel dan korespondensi Majalah al-Manar —didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha pada 1898 M di Kairo, sekaligus majalah yang sedang “nge-hits” pada masa itu sebagai ikon pencerahan dan pembaharuan dunia Islam—misalnya, terma “Jawa” digunakan untuk menunjukkan “Nusantara”.
Beberapa surat dari Fadan (Padang), Falamban (Palembang), Batawiya (Batavia/Jakarta), Aaji (Aceh), Sambas, Salbas (Celebes/Sulawesi), bahkan Malaya (Malaysia) dan Sinqafurah (Singapura), selalu diikuti oleh penegasan kata “bi [bilad] Jawa” (di [negeri] Nusantara).
Al-Hamid berada di Nusantara selama kurang lebih setengah tahun, menjelajahi beberapa pulau (Jawa, Bali, dan Lombok) dan menghabiskan masa-masa yang sangat mengesankan. Al-Hamid menuliskan gambaran pulau Jawa, Bali, dan Lombok dengan sangat detail; topografi, penduduk, adat istiadat, struktur pemerintahan dan masyarakat (Belanda totok, indo-peranakan, pendatang Cina dan Arab, dll), lembaga pendidikan, dan juga diaspora Arab-Yaman (al-Hadharimah) serta kiprah mereka di Nusantara.
Selain itu, al-Hamid juga sedikit banyak menuliskan sejarah masuknya Islam ke Jawa (Nusantara), sejarah kolonialisme Eropa di Nusantara, juga perbedaan istilah Jawa (Nusantara) dalam literatur klasik dan modern.
Di antara beberapa tempat yang dikunjungi oleh al-Hamid antara lain; Solo, Kintamani, Madura (Majurah), Surabaya, Banyuwangi, Bondowoso, Bedugul, Buleleng, Lombok, Airmadu, Kintabatu, Pasir Putih, Malang, Batu, Pasuruan, Jogja (Jakja), Semarang (Samarag), Pekalongan (Bakalugan), Bogor, Pasar Minggu (Fasar Minqu), Purwakarta, Batavia, Garut (Qarut), Cianjur (Syanjur), Sukabumi, Bandung, dan Singapura.
Al-Hamid menulis tentang Batavia; “Batavia adalah pusat pemerintahan, ibu kota Jawa dan semua Kepulauan Hindia Timur Belanda. Kota ini terletak di tepi sungai Siliug (Ciliwung), terdiri dari distrik-distrik yang tertata. Tata kota, corak arsitektur bangunan, dan ‘hawa’ kota ini secara umum bernafaskan Eropa-Belanda. Gedung-gedung cantik dan megah banyak berdiri.
Batavia juga adalah pusat terpenting aktivitas perdagangan, mengekspor karet, teh, dan rempah-rempah. Di sana ada banyak kantor dan perusahaan besar, juga pusat keuangan. Pada masa Hindu-Budha, kota ini dinamakan Sanwa Kalafa (Sunda Kalapa), lalu setelah ditaklukkan kesultanan Bantam (Banten), dirubah namanya oleh Maulana Hidayatullah menjadi Jayakarta”.
Sedangkan atas keelokan tempat-tempat di pulau Jawa-Bali-Lombok secara umum, al-Hamid menggambarkan: “Tempat ini adalah gambaran Firdaus yang diberikan Allah di atas muka bumi. Firdaus yang ‘tak ada matapun dapat melihat, telinga dapat mendengar, dan bayang pikiran dapat melintas di hati manusia”. Allah memberikan karunia kepada para penduduk negeri ini dengan alam beserta pemadangan dan kesuburannya yang tiada tara”.
Al-Hamid menuliskan catatan yang sedikit berbeda akan pulau Bali: “Orang-orang Bali [baik lelaki atau perempuan] bertelanjang dada. Mereka hanya memakai secarik sinjang. Para perempuan Bali harus memakai pakaian demikian karena mengikuti budaya leluhur mereka yang konservatif. Meski secara geografis Bali dekat dengan Jawa, namun orang-orang Bali masih hidup dalam kondisi zaman pertengahan. Kemodernan seakan-akan belum berpengaruh dalam kehidupan mereka”.
Buku “Rihlah Jâwâ al-Jamîlah” karangan al-Hamid ini baru diterbitkan pada 2002 M di Tarim (Yaman) oleh penerbit Tarîm li al-Dirâsât wa al-Nasyr, setelah cucu penulis menemukan manuskrip catatan perjalanan ini dan menyunting (tahqîq)-nya (dengan tebal 234 halaman).
Tentu, buku ini menarik bukan semata-mata karena menyuguhkan catatan perjalanan yang mengasyikkan, tetapi juga memberikan kita informasi penting terkait sejarah, antropologi, sosiologi, dan etnografi Nusantara pada masa itu. (*)
Kairo, April 2016