Pesantren Studies: Heterologsia Sastra Aswaja di Nusantara

Data Buku
Judul: Pesantren Studies 2b:Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial: Juz Kedua: Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-teks Aswaja-Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19
Penulis: Ahmad Baso
Penerbit: Pustaka Afid Jakarta
Tahun Terbit: 2012
Tebal: 383 + XIII Halaman
Peresensi: Syarif Hidayat Santoso
Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja) bukan saja sebuah mazhab tentang akidah, fikih dan tasawuf. Aswaja merupakan teks peradaban yang lintas sektoral dan memiliki vitalitas menyelami samudera kehidupan tamaddun dan batiniah masyarakat. Buku karangan Ahmad Baso ini menunjukkan secara ilmiah dan historis bahwa aswaja telah menyatu dalam kehidupan masyarakat nusantara melalui sastra dan jaringan para penulis yang kosmopolit.
Diawali dengan bab pembukaan yang menarik, Ahmad Baso mengurai fakta bahwa para kaum santri di nusantara merupakan kaum yang memiliki kecakapan heterologsia (berbahasa jamak bahasa). Ahmad Baso menjelaskan figur sejumlah tokoh santri yang bisa berbahasa Jawa Kuno, Arab, Persia, Turki, Cina, bahasa-bahasa Eropa juga bahasa Melayu. Ahmad Baso juga mengurai teks koleksi naskah ulama banten tahun 1890 yang menghimpun teks bahasa Persia, dimana terdapat teks fikih bahasa Persia yang disalin di India. Jelas bahwa teks-teks ini bukan sekedar teks ilmu pengetahuan namun sebuah upaya membumikan pengetahuan amali. Berbagai level sejak regional, nasional sampai internasional diikat oleh teks ini.
Bahasa jamak ternyata juga multi fungsi, bukan sekedar tranmisi ilmu agama dari Timur Tengah tapi juga transmisi kesenian, kebudayaan, sastra dan ilmu kemiliteran. Multikulturalisme ditanamkan dalam sanubari kaum santri yang dapat dilihat dari istifadah terhadap teks-teks bahasa Cina tentang hikmah dari Serat Ang Dok. Ada relasi emosional yang hangat antara Tionghoa dengan santri Jawa.
Heterogsia juga memiliki fungsi untuk membangun relasi dengan kosmologi masa lalu. Penguasaan bahasa Kawi oleh sebagian santri merupakan upaya ini. Kaum santri begitu arif dalam mewarisi tradisi klasik masa lalunya, hatta yang Hindu sekalipun. Teks Nitisruti diinisiasi kedalam alam pikir pesantren oleh Yosodipuro, seorang santri pesantren asuhan Kyai Onggamaya Bagelen. Adapun bahasa Turki dipelajari untuk kepentingan ilmu militer. Naskah militer Turki karangan Haji Bektash diterjemahkan kedalam bahasa Bugis-Makasar. Ilmu militer Turki juga diterapkan pasukan Diponegoro oleh Haji Badarudin, panglima pasukan Suranatan Yogyakarta.
Buku ini begitu kaya dengan ratusan data ilmiah yang ditimba dari berbagai sumber termasuk Leiden Belanda. Referensi pustakanya berada dalam rentang abad 19 sampai abad 20 dalam bahasa Indonesia, Belanda dan Inggris. Penulis tak segan mengutip sumber abad 20 untuk kemudian melacaknya pada teks asli abad 19. Buku ini juga mampu menyertakan satu bukti bahwa kosmopolitanisme Islam Indonesia terkadang dibangun dari pedesaan. Maguru Ing Sastra yang merupakan aspek tulis menulis nusantara diberi karakter khas nusantara oleh wali songo dari wilayah ruralitas eksotik.
Alhasil membaca buku ini seperti bertamasya ke masa lalu, kemudian menyaksikan proses pengkaderan tradisi keilmuan Islam nusantara. Identitas kebangsaan-multikultural serta tradisi musyawaratan ikut menyemarakkan jejaring teks-teks sastra nusantara. Buku ini mampu menunjukkan bahwa teks Islam nusantara bergerak secara mobile, berada dalam posisi menjadi serta mewujud dalam spirit produksi anti kolonial.
Sifat sirkulatif teks nusantara menjadikannya berjiwa penggerak sosial, pembentuk identitas serta penentu khalayak. Intertekstualitas naskah nusantara juga menciptakan ruang dialogis yang kaya, komunikatif dan integratif. Membaca buku ini seakan meneguhkan kembali jatidiri kaum santri yang semenjak lahirnya Islam modernis sering dituding konservatif dan jumud. Buku ini juga menunjukkan produksi teks yang secara gramatikal terbuka dan dinamis.
*Peresensi Alumnus FISIP Universitas Jember, Pustakawan Buku dan Kitab.