Fiqh, antara Seks dan Gender

Ilustrasi perempaun dan kitab fikih

Secara sederhana, “seks” berarti jenis kelamin, yaitu perbedaan jenis kelamin yang didasarkan pada aspek biologis yang dibawa atau diberikan sejak lahir, tidak dapat diubah, bersifat universal dan sama dari masa kemasa. Seperti jenis kelamin laki-laki, jenis kelamin perempuan atau jenis kelamin lainnya.

Contoh setiap orang yang memiliki penis, sperma dan jakun adalah laki-laki, dan setiap orang yang memiliki vagina, payudara, sel telur, rahim, dan alat reproduksi lainnya adalah perempuan, serta setiap orang yg tidak memiliki ciri-ciri biologis laki-laki atau perempuan atau memiliki keduanya, maka disebut jenis kelamin ketiga, yang dalam fikih disebut huntsa.

Sedang “gender” berarti jenis kelamin sosial, yaitu sifat, peran, karakter, cita cita, ide, yang dilekatkan pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Oleh karena itu ia bisa dipertukarkan, bisa berubah, tidak universal dan berbeda dari waktu ke waktu.

Semua peran, karakteristik, harapan, ide-ide yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, berbeda dari satu orang dan orang lainnya, disebut dengan “gender”. Peran memasak, mencuci, menyapu menyetrika, menjahit dan sejenisnya adalah peran gender, sebagaimana karakter feminim, maskulin, kuat, lemah, pandai, bodoh, peminpin, dipimpim, cerdas, dan peran sosial lainnya adalah peran-peran dan harapan gender.

Itulah kira-kira konsep sederhana seks dan gender. Lalu apa hubungannya dengan Fikih/Hukum Islam?

Nah, jika kita melihat beberapa hukum Islam/fikih, maka bisa kita lihat bahwa ada hukum-hukum yang dikaitkan dengan seks dan ada yang diakitkan dengan gender.

Hukum Islam yg dikaitkan dengan seks tentu ia bersifat universal dan tidak bisa berubah dan dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Seperti hukum Islam tentang perempuan yang haid, hamil menyusui, melahirkan, nifas, dll.

Sementara hukum Islam yang dikaitkan dengan gender, maka ia bersifat relatif, temporal, dan bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari orang ke orang lainnya.

Pertayaannya, apakah hukum tentang qiwamah (kepemimpinan), wilayah (perwalian), syahadah (kesaksian) _qadha’ (peradilan) dan lain lain, dikaitkan dengan seks (jenis kalamin biologis), ataukah dikaitkan dengan gender?

Nah jika jawabannya yang pertama, maka hukum-hukum itu tidak bisa berubah. Dan jika jawabannya yang kedua, maka hukum-hukum tentang itu semua bisa berubah walaupun tidak harus diubah saat ini.

Saya sendiri, memilih jawaban yang kedua. Lha kan jadi kacau fikihnya?. Fikih menjadi kacau jika berada di tangan orang yang tidak faham fikih, atau faham fikih tapi tidak jujur dan tidak bertanggungjawab. Wallahu A’lam.

Selamat Hari Santri, Santri sehat santri kuat.

Sehat bukan hanya fisik, tapi juga psikis, sosial, dan bahkan sehat secara ekonomi. (*)

Situbondo, 22 Oktober 2020

Dr KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

Syariah Lainnya

SantriNews Network