Fatwa, Maqashid dan Ushul Fiqh

Berfatwa adalah memberikan penjelasan tentang hukum Islam kepada mustafti (peminta fatwa). Fatwa adalah tanggungjawab yang disematkan di atas pundak para Ulama.

Imam al-Nawawi mengakatakan “Ketahuilah bahwa berfatwa adalah perkara yang besar bahayanya, namun banyak keutamaannya karena seorang mufti adalah pewaris Nabi, penegak fardhu kifayah akan tetapi ia berpotensi salah”.

Seorang mufti mesti harus melihat secara baik fatwa yang akan ia sampaikan, apakah fatwanya bertentangan dengan maqashid syari’ah? Ia juga mesti melihat jauh kedepan tentang dampak yang diakibatkan dari fatwanya itu.

Membahas maqashid syariah mengharuskan seseorang untuk membahas ushul fiqh. Ushul fiqh seperti pondasi, akar dan dasar dari sesuatu. Sedangkan maqashid adalah tujuan besar ditetapkan oleh owner dibalik proyek-proyek mujtahid tersebut.

Ushul fiqh tanpa mengetahui maqashid seperti berilmu tanpa mengetahui amal-amal besarnya buat apa. Begitu juga sebaliknya maqashid tanpa ushul seperti beribadah namun ikut intuisi yang berpotensi jatuh pada nafsu. Sehingga bagi seorang mufti dua ilmu ini mesti wajib dikuasai.

Imam al-Ghazali dalam al-Mushtashfa mengakatan bahwa syarat menjadi mujtahid mesti menguasai tiga bidang ilmu; ilmu hadits, ilmu bahasa dan ilmu ushul fiqh.

Bahkan Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat hanya mengharuskan seorang mujtahid atau mufti menguasai dua hal. Pertama, menguasai maqashid syari‟ah secara sempurna. Kedua, mampu melahirkan hukum berdasarkan pemahamannya tentang maqashid syari’ah (istibanth/ushul fiqh). (*)

Fakhri Zakirman, Alumni Universitas Al Azhar Kairo Mesir.

Terkait

Syariah Lainnya

SantriNews Network