Asal Usul dan Dalil Shalat Tarawih: 8, 20, dan 36 Rakaat

Ilustrasi shalat tarawih berjamaah (santrinews.com/istimewa)

Dikisahkan dalam Hadist Shahih, di satu malam Ramadhan, Rasulullah shalat di masjid, sebanyak 11 rakaat, 8 rakaat sebagai shalat qiyamil lail dan 3 sisanya sebagai shalat witir.

Melihat Rasulullah shalat malam di malam bulan ramadhan ini, maka beberapa sahabat ikut berjamaah bersama Rasulullah. Malam ketiga semakin banyak sahabat yang ikut berjamaah.

Pada malam keempat Rasulullah tidak lagi keluar shalat malam di masjid. Menjelang pagi, Rasulullah bersabda, saya tahu apa yang kalian lakukan tadi malam, tidak ada apapun yang menghalangi saya keluar kecuali saya khawatir shalat malam di bulan ramadhan secara jamaah ini kemudian diwajibkan oleh Allah, lalu menjadi beban baru bagi kalian.

Jadi Rasulullah, tidak keluar shalat malam di masjid di malam keempat, karena beliau khawatir hal itu menjadi kewajiban bagi umat Islam dan menjadi beban baru disamping beban shalat lima waktu. Saat itu belum dikenal “shalat tarawih”. Yang dikenal hanyalah shalat malam (Qiyamu al lail) di bulan Ramadhan.

Semasa Nabi hidup, shalat malam secara jamaah ini, hanya dilakukan dua malam, yaitu malam kedua dan ketiga, karena malam keempat Nabi tidak lagi keluar berjamaah di masjid.

Sepeninggal Nabi, shalat malam di bulan Ramadhan kembali dilakukan oleh para sahabat baik secara sendiri sendiri maupun berjamaah.

Pada tahun kedua dari sebelas masa kekhalifahannya, Sayyidina Umar RA melakukan “ijtihad brilian” dengan menyatukan shalat malam yang berserak serak ini dalam satu masjid dengan satu imam yang ditunjuk langsung oleh Umar, yaitu Ubai Ibnu Ka’ab.

Sejak saat inilah shalat malam di bulan ramadhan ini dilakukan serentak secara jamaah sebanyak 20 rakaat di bawah satu imam. Dalam satu riwayat dinyatakan, Umar RA juga menunjuk beberapa Imam untuk jamaah perempuan.

Sejak saat ini pula, shalat malam di bulan Ramadhan disebut dengan shalat tarawih, karena di tiap-tiap 2 kali salam (4 rakaat – 4 rakaat) jamaah beristirahat, karena lelah akibat panjangnya bacaan ayat. Jadi dapat 4 rakaat berhenti, 4 rakaat berhenti begitu sampai 20 rakaat dan lalu ditutup dengan witir 3 rakaat.

Nabi melakukan shalat “tarawih-shalat malam” sebanyak 11 rakaat, para sahabat Nabi melakukan dengan 20 rakaat. Dan praktek ini diamini oleh imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka shalat tarawih 20 rakaat. Imam Malik yang berdomisili di Madinah menambahnya menjadi 36 rakaat, alasan beliau agar bisa mengimbangi pahala tarawih dan thawaf di Makkah.

Jadi jika kita shalat 36 rakaat maka berarti telah mengikuti imam Malik, sahabat, dan Nabi. Jika shalat 20 rakaat, berarti mengkuti imam madzhab, shahabat, dan Nabi. Jika shalat 11 rakaat berarti hanya ikut Nabi. Jika tidak tidak shalat, ya berarti ikut imam-imam yang tidak jelas.

Bagaimana cara pelaksanaannya, apakah 2 rakaat 2 rakaat, seperti yang umum kita lihat, ataukah 4 rakaat 4 rakaat satu salam, seperti dipraktekkan sebagian muslim Muhammadiyah, ataukah delapan delapan, ataukah 20 langsung dengan satu salam seperti yang pernah saya praktekan?

Nah di sini Ulama berbeda pendapat. Intinya semua praktek itu ada pendapat ulama yang mengabsahkannya. Karena memang tidak ada tuntunan dari Nabi tentangnya. Bagi Nabi, yang penting shalat qiyamul lail.

Silahkan membaca kitab Fathul Qarib, al Mabsuth dan juga Ithaf Sadati al Muttaqin. Jangan hanya baca Fathul Qarib, karena pasti anda akan tidak men-shah -kan shalat tarawih orang lain. Jangan membatalkan praktek seorang hanya berdasar satu kitab. Padahal banyak kitab lain yg men-shah-kan nya.

Selamat memasuki bulan ibadah, Ramadan. (*)

Situbondo, 22 April 2020

KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

Syariah Lainnya

SantriNews Network