Refleksi Ramadhan 1434 H

Menggerakkan Ekonomi Ramadhan

Oleh Faizi
(Kandidat Doktor Keuangan dan Perbankan Islam di Universiti Utara Malaysia)

Pada setiap bulan suci Ramadhan tiba, masjid-masjid di Indonesia seolah menjadi lebih ‘makmur’ dengan aktivitas yang bernuansa keagamaan dan sosial-ekonomi. Pada dimensi yang bernuansa keagamaan, masjid telah menjadi pusat kegiatan umat Islam, mulai dari kegiatan pengajian, shalat terawih, shalat jama’ah lima waktu, pengajian menjelang buka puasa, peringatan Nuzulul Qur’an, kursus-kursus atau pelatihan dan lain sebagainya.

Melalui aneka ragam kegiatan masjid tersebut, hampir dapat dipastikan masjid di Indonesia telah menyerupai fungsi masjid pada masa Nabi Muhammad SAW sampai pada masa keemasan peradaban Islam.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, fungsi masjid tidak hanya terbatas pada tempat ritual atau ibadah semata. Lebih dari itu, masjid berfungsi sebagai sekolah, pesantren, perguruan tinggi, pasar, tempat pertemuan politik, pengadilan bahkan berfungsi sebagai ‘hotel’ bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau tempat tinggal bagi mereka yang tidak mempunyai rumah. Apabila fungsi masjid hanya dibatasi pada tempat ibadah dan pengajian seperti yang terjadi di luar Ramadhan, secara tidak langsung kita telah mereduksi fungsi agung dari masjid itu sendiri.

Oleh karena masjid lebih bersifat sebagai pusat kegiatan, maka secara otomatis dimensi yang berkaitan dengan persoalan sosial-ekonomi masyarakat menjadi tak terpisahkan.Pada bulan puasa, masjid menjadi serba kecukupan. Biaya operasional masjid seperti listrik, telepon, kebersihan, keamanan dapat terpenuhi bahkan surplus dari pendapatan berupa dana zakat, infak dan shadaqah dari para jama’ah atau dana halal lainnya. Ironisnya, keadaan serupa tidak terjadi di luar bulan Ramadhan bahkan tidak jarang takmir masjid harus keliling mencari donatur demi menutupi kebutuhan rutin masjid.

Kemakmuran masjid pada bulan Ramadhan amat terasa pada saat azan magrib.Pada saat itu, hampir tidak ada orang yang tidak bisa berbuka puasa. Budaya takjilan (buka puasa bersama yang disediakan secara gotong-royong) telah menjamin kebutuhan buka puasa umat Islam.Akan menjadi ideal kalau kemudian jaminan seperti ini dapat direalisasikan di luar bulan puasa.Paling tidak, masjid dapat menyediakan keperluan pangan minimal bagi musafir atau penduduk sekitar yang kekurangan.

Kemakmuran masjid di atas akan menjadi maksimal dan optimal apabila keuangan masjid dikelola secara profesional dengan cara tidak hanya dipergunakan pada hal-hal yang berbau konsumtif dan distributif semata. Berangkat dari sinilah ide seputar pendirian BankMasjid muncul kepermukaan untuk kemudian dikonseptualisasikan secara matang dan segera direalisasikan guna menguji keshahihan ide tersebut.

Pemahaman yang sempit
Harus diakui masih terdapat pemahaman yang ‘sempit’ di kalangan umat Islam mengenai ide produktivitas dana zakat, infak dan shadaqah. Alasannya sederhana bahwa dana-dana tersebut merupakan amanah umat yang harus segera didistribusikan kepada golongan-golongan yang berhak menerimanya. Atas dasar logika tersebut, apabila terdapat kelebihan dana, maka dana-dana tersebut harus ditabung agar amanah itu terjamin atau untuk mengantisipasi keperluan masjid yang tak terduga.

Sepintas lalu, pemikiran itu memang benar, namun kalau direnungkan lebih jauh apakah umat Islam yang kekurangan akan terus menerus menurun atau justru akan bertambah. Tidak ada jaminan bagi mereka yang tahun ini menjadi mustahiq zakat (golongan yang berhak menerima zakat) pada tahun berikutnya tidak lagi menyandang status mustahiq bahkan kemungkinan besar jauh lebih banyak mengingat carut marut perekonomian bangsa yang tak kunjung usai ini.

Dalam konteks ini, pemikiran yang harus dikedepankan adalah kekhawatiran akan semakin tingginya sikap pasrah dan ketergantuangan ketika kaum dhuafa’ terus-menerus disantuni pangan atau uang yang lebih bersifat konsumtif. Apabila ini yang terjadi maka beban zakat dan umat dari tahun ke tahun akan semakin berat. Dan jumlah mustahiq akan semakin bertambah secara otomatis.

Terlepas dari perbedaan tajam seputar gagasan boleh tidaknya melakukan usaha produktivitas dana zakat, infak, dan sadaqah di kalangan ilmuan muslim, namun manakala kita merujuk pada fakta sosial-ekonomi masyarakat muslim yang mayoritas masih berada dalam taraf pra-sejahtera. Sepertinya ide dasar produktivitas dana zakat, infak dan sadaqah harus mendapatkan dukungan dan apresiasi moral yang lebih besar lagi. Karena persoalan kemiskianan dan kesejahteraan sesungguhnya hal yang paling pokok dalam ajaran Islam, dan upaya keras pada penyelesaian problem kemiskinan derajatnya lebih besar dari pada keshalehan personal dan minus keshalehan sosial.

Dalam konteks ini penulis sepakat dengan pandangan Yusuf Qardhawi bahwa menunaikan zakat termasuk amal ibadah sosial dalam rangka membantu orang-orang miskin dan golongan ekonomi lemah untuk menunjang ekonomi mereka sehingga mampu berdiri sendiri di masa mendatang dan tabah dalam mempertahankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Apabila zakat merupakan suatu formula yang paling kuat dan jelas untuk merealisasikan ide keadilan sosial, maka kewajiban zakat meliputi seluruh umat, dan bahwa harta yang harus dikeluarkan itu pada hakekatnya adalah harta umat, dan pemberian kepada kaum fakir. Pembagian zakat kepada fakir miskin dimaksudkan untuk mengikis habis sumber-sumber kemiskinan dan untuk mampu melenyapkan sebab-sebab kemelaratan dan kemapanannya, sehingga sama sekali nantinya ia tida memerlukan bantuan dari zakat lagi bahkan berbalik menjadi pembayar zakat.

Bank Masjid
Dalam hal ini konsep pemikiran seputar pendirian Bank Masjid harus difahami layaknya perbankan secara umum, yakni sebagai lembaga intermediasi antara masyarakat agniya’ (kaum kaya) dengan masyarakat dhuafa’ (kaum lemah) dengan menggunakan sistem dan mekanisme yang ada pada perbankan. BankMasjid dapat menggunakan model dan sistem perbankan syariah dalam mengelola dan mengembangkan dana-dana yang diamanahkan kepadanya kecuali pada aspek yang bersifat komersial.

Dengan menggunakan model seperti itu, satu sisi Bank Masjid dapat menginvestasikan dananya pada sektor bisnis produktif yang halal dan pada sisi yang lain akan memberikan modal kepada kaum dhuafa’ dengan menggunakan model Mudharabah, Musyarakah atau Qardhul Hasan. Pada tahap awal untuk mempermudah manajemen keorganisasian Bank Masjid dapat menggandeng dan bekerja sama dengan perbankan syariah, bank perkreditan rakyat syariah atau Baitul Mall Wattamwil.

Dengan fungsi seperti itu, maka masjid diharapkan menjadi lebih makmur sehingga tidak akan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya sekaligus mampu memakmurkan masyarakat sekitar melalui dana produktifnya. (*)

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network