MEA Dalam Perspektif Ekonomi Syariah

Oleh: Mushafi Miftah
BEBERAPA bulan terakhir ini, Indonesia tengah sibuk bersiap menghadapi realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas di akhir 2015. Melalui pasar bebas ASEAN ini diharapkan mampu menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa, karena semua elemen masyarakat bisa mengekspresikan keinginanya secara kompetitif. Namun di tengah persiapan itu, Indonesia justru sedang terpuruk di sektor ekonomi, bahan-bahan pokok semuanya naik, nilai rupiah semakin anjlok dan lain sebagainya.
Dalam MEA ini, ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal perekonomian. Dari sini diharapkan perekonomian Asia lebih dinamis dan kompetitif dalam persaingan ekonomi global. Karenanya, di dalamnya terdapat inisiatif ekonomi; mempercepat integrasi regional di sektor-sektor prioritas; memfasilitasi pergerakan bisnis, tenaga kerja terampil dan bakat; dan memperkuat kelembagaan mekanisme ASEAN.
Melihat idealnya cita-cita dari MEA itu, dalam konteks ke-Indonesia saya justru pesismis para tenaga kerja Indonesia bisa bersaing dalam pasar bebas ASEAN. Bahkan saya memprediksi akan terjadi “masyarakat perbudakan” jilid dua di Indonesia. Istilah masyarakat perbudakan merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Karl Mark dalam mengkritik hegemoni kekuatan kaum Borjuis atau kaum Kapital yang banyak dipengaruhi pemikiran Adam Smith. Pada saat itu, kelompok-kelompok masyarakat ploretar (kaum buruh) hanya menjadi pesuruh dan budak kaum borjuis karena ia tidak mampu bersaing secara modal.
Fenomena masyarakat perbudakan berpotensi kembali terjadi di Indonesia kala sistem pasar bebas direalisasikan secara nyata di ASEAN. Karena secara umum, sejatinya Indonesia belum siap untuk menghadapi pasar bebas ASEAN itu.
Perdagangan bebas adalah sebuah Konsep yang berasal dalam ekonomi kapitalis yang mengacu kepada penjualan produk antar Negara tanpa pajak expor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Hal ini tentu dianggap strategi yang menambah peluang kesempatan kerja. Dikarenakan adanya perdagangan bebas, pasar barang dan jasa dari suatu negara menjadi lebih luas.
Namun demikian, dalam sistem ekonomi kapitalis, proses perekonomian diserahkan sepenuhnya kepada pasar dan menolak intervensi pemerintah dalam proses produksi dan distribusi. Dalam perekonomian kapitalisme setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.
Dengan begitu, sistem ekonomi kapitalis berpotensi menciptakan kelas-kelas pemodal, karena yang akan menguasai pasar adalah orang yang mempunyai kekuatan modal. Akibatnya, akan terjadi monopoli ekonomi. Mengapa? Karena pedagang kecil akan kalah bersaing dengan pedagang yang didukung oleh kekuatan modal.
Kaitannya dengan akan diterapkannya pasar bebas di Negara Asia (MEA) tentu ini menjadi tantangan bagi negara Indonesia dalam sektor eknomi. Tentu Indonesia dituntut untuk segera membenahi sektor-sektor ekonomi untuk menyambut MEA. Hal ini agar Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara-negara yang tergabung dalam MEA. Jangan biarkan mereka mengembangkan kekayaan di Indonesia.
Bagaimana Ekonomi Islam Memandang MEA?
Didalam sistem ekonomi Islam, aktivitas perdagangan merupakan hal yang mubah. Yakni apabila dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkannya tidak berdosa dan tidak berpahala. Dan karena perdagangan luar negeri ini melibatkan warga Negara asing, maka kita sebagai seorang muslim haruslah bisa bertanggungjawab untuk mengontrol, dan mengaturnya sesuai dengan konsep Islam. Prinsip dasar ekonomi Islam terdiri atas tiga hal yaitu prinsip tauhid, khilafah dan al-“˜adalah (keadilan). Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi kerangka kerja bagi Islam (ekonomi). Akan tetapi juga merupakan tujuan dan sumber utama maqashid dari syariah Islam.
Tauhid merupakan fondasi utama dalam Islam. Tauhid merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam yang menyatakan pada ke Esaan dan ke Mahaagungan kekuasaan Allah swt. Dalam ranah ekonomi Islam, tauhid merupakan pengakuan manusia atas penciptaan alam seisinya oleh Allah swt. Sehingga keberadaan alam beserta seisinya bukan terjadi secara kebetulan sebagaimana teori-teori dari sarjana barat yang mengkaji tentang asal-muasal alam semesta ini.
Prinsip tauhid, juga mengajarkan pada manusia, bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia termasuk di dalamnya harta kekayaan adalah semata-mata berasal dari Allah SWT. yang bersifat nisbi/relatif. Sedangkan yang abadi dan mutlak hanya milik Allah SWT saja. Tauhid merupakan ruh/fondasi dari ekonomi Islam.
Kemudian, dalam konsepsi ekonomi Islam, manusia merupakah khalifah Allah SWT di bumi. Manusia diutus Allah SWT ke bumi membawa misi menjadi seorang khalifah dalam arti sebagai wakil Allah SWT dan pemakmur bumi. Alam seisinya sebagai hasil ciptaan Tuhan semata-mata hanya untuk manusia guna dikelola dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat.
Dengan begitu, sistem pasar bebas yang menolak peran pemerintah merupakan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam karena berpotensi terjadi monopoli ekonomi. Karena secara filosofis, kegiatan ekonomi bertujuan untuk kesejahteraan umat tanpa ada kelas-kelas sosial.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakat diperlukan suatu strategi. Strategi ini meliputi regorganisasi seluruh sistem ekonomi dengan empat unsur penting yang saling mendukung, yaitu: pertama, suatu mekanisme filter yang disepakati masyarakat, yaitu Moral, dengan mengubah skala preferensi individu sesuai dengan tuntutan khilafah dan adalah, kedua, suatu sistim motivasi yang kuat untuk mendorong individu agar berbuat sebaikbaiknya bagi kepentingannya sendiri dan masyarakat, dengan dasar pertanggung jawaban kepada Tuhan dan Hari Akhir.
Ketiga, restrukturisasi seluruh ekonomi, dengan tujuan mewujudkan maqashid meskipun sumber-sumber yang ada itu langka; dengan dasar lingkungan sosial yang kondusif untuk menaati aturan-aturan pengamatan dengan tidak mengizinkan pemilikan materi dan konsumsi yang mencolok sebagai sumber pretise, dan keempat, suatu peran pemerintah yang berorientasi tujuan yang positif dan kuat. Dalam konteks itu, kesejahteraan masyarakat umum merupakan bentuk aktualisasi nilai-nilai Humanisme.
Oleh karena itu, dalam pandangan ekonomi Islam konsep peran minimal negara bertentangan dan tidak dapat diterima, sebab hanya akan mendatangkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Dari sini ekonomi Islam menawarkan solusi alternatif bentuk negara yang ideal yang mengayomi dan menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan.
Dengan demikian, menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan langkah strategis dalam sektor tenaga kerja, sektor infrastuktur, dan sektor industri. Karena dampak MEA ini sangat besar terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Jika tidak kegiatan ekonomi Indonesia akan dimonopoli oleh China dan Jepang yang nota bene sebagai negara maju dalam ekonomi.
Agar tidak terjadi monopoli dalam MEA maka pemerintah harus proaktif mengontrol. Jangan sampai rakyat Indonesia menjadi budak di negeri sendiri. Karena, meski tercatat sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah ruah dengan luas dan populasi terbesar di antara negara-negara lainnya di ASEAN, namun Indonesia termasuk salah satu yang lemah diantara komonitas MEA. Wallahu A’lam. (*)
Mushafi Miftah, Dosen Pemikiran Ekonomi Islam Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.