Peristiwa Tolikara Sebuah Tanda Tanya
Oleh: Zahrul Fadhi Johan
HARI kemenangan suci umat Islam Tolikara Papua (17/08/2015) telah dikotori oleh aksi teror jemaat Gereja Injili Di Indonesia (GIDI). Peristiwa pembakaran mesjid, kios dan rumah umat Islam pada saat mereka hendak melaksanakan salat idul fitri telah merusak tatanan kerukunan hidup beragama di Tanah Papua.
Peristiwa tersebut telah menyulut emosi umat Islam di seluruh Indonesia. Tindakan itu merupakan sikap Intoleransi yang dipraktekkan oleh kaum moyoritas terhadap kaum minoritas di sebuah negara yang mengagungkan prinsip toleransi antar umat beragama. Peristiwa seperti itu dapat dikatakan sebagai salah satu model terorisme baru di Indonesia. Pembakaran mesjid, kios, dan rumah warga muslim oleh kaum misonaris injil GIDI telah menyebabkan umat Islam tidak dapat merayakan keagungan yang sudah sebulan lamanya melakukan ibadah di dulan Ramadhan untuk menyambut kedatangan hari agung tersebut.
Bagi pemerintah Indonesia yang sedang dipimpin oleh Jokowi-JK, peristiwa Tolikara menjadi isu “seksi” untuk di kelola “seseksi” mungkin. Sebagai misal pernyataan JK “kejadian di Tolikara hanya dipicu oleh speker”, menjadi bukti kecoplosan seorang pemimpin dalam menggiringi isu ke publik tanpa mencari tau apa, mengapa, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Sebelum peristiwa Tolikara muncul, JK pernah mengeluarkan pernyataan kontroversi tentang larangan kepada umat Islam untuk tidak menggunakan speker, dan mengencangkan suara pengajian di mesjid atau mushalla agar tidak mengganggu umat lainnya beribadah dengan dalil agar toleransi antar umat beragama saling terjaga satu sama lain.
Disamping itu, adanya desas-desus yang berhembus di masyarakat, menyebutkan bahwasanya usai lebaran idul fitri, pemerintah Jokowi-JK akan menaikan kembali harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Atas dasar pernyataan dari JK yang dibarengi oleh peristiwa Tolikara, serta munculnya isu kenaikan harga BBM. Turut menimbulkan pertanyaan besar dalam benak masyarakat Indonesia.
Apakah peristiwa Tolikara merupakan bentuk konflik baru yang dikelola oleh pemerintah untuk megalihkan berbagai isu yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang tidak memihak rakyat kecil, dan benarkah ini upaya untuk menutupi berbagai kelemahan kepemimpinan Jokowi-JK selama memangku jabatan sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia?.
Namun bentuk pertanyaan diatas hanyalah sebuah pertanyaan yang oleh penulis rasa belum ada sebuah jawaban yang jelas dari tindakan pemerintah untuk mengusut dan memberikan hukuman terhadap pelaku sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Mengingat juga, suatu peristiwa atau konflik yang dilandasi agama tidak terlepas dari faktor politik, baik itu politik lokal di tempat terjadinya konflik, maupun politik tingkat Nasional dan secara global. serta diperkuat oleh pernyataan kontroversi seorang wakil kepala negara. Oleh karenanya, kemunculan peristiwa Tolikora, menimbulkan berbagai reaksi dan tanggapan dari media massa dan masyarakat.
Dengan itu, rekasi dan tanggapan dari media dan masyarakat memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah. Isu kenaikan harga BBM menjadi hambar, isu konflik agama semakin hangat diberitakan, media massal terus menerus mengupas masalah tersebut, sedangkan masyarakat asyik menanggapinya. Dan dikhawatirkan adalah sesama umat beragama khususnya Islam dan kristen saling menyerang satu sama. Pada akhirnya, pemerintah Jokowi-JK dengan mudah menaikkan harga BBM tanpa adanya resistensi dari masyarakat secara masif seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Disisi lain, Berbagai kelemahan pemerintah Jokowi-JK selama hampir setahun mengemban jabatan dapat tertutupi, termasuk kasus yang sedang menjerat para koruptor nomor wahid di kalangan pemerintah.
Maka dari itu, pemerintah diharapkan tidak perlu memamfaatkan peristiwa Tolikara sebagai ajang pengelolaan isu baru untuk mengalih berbagai isu yang sedang menyelimuti kepemimpinan Jokowi-JK. Seharusnya pemerintah dengan cepat dan tegas mencari dan mengadili siapapun pelaku intoleransi umat beragama di Tolikara Papua. Janganlah sekedar mengecam dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversi yang dapat memecah-belah umat dan bangsa, supaya nantinya tidak berimbas pada konflik agama secara lebih luas di seluruh Indonesia. Adili para pelaku yang terbukti bersalah sesuai dengan undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang tindak pidana anti terorisme yang telah berlaku.
Begitu juga dengan umat Islam di seluruh Inonesia, diharapkan tidak terprovokasi terhadap konflik yang kadang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu. Tunjukan pada umat non-Islam, bahwa Islam adalah agama darussalam yang mengajarkan kedamaian dan umatnya cinta damai. Janganlah sesekali kebencian dibalas dengan kebancian, karena kebencian yang mereka tanamkan terhadap Islam disebabkan oleh ketidak tahuan mereka tentang Islam. Begitu juga dengan kekerasan tidak perlu dibalas dengan tindakan kekerasan pula, kerena kekerasan yang mereka lakukan terhadap umat Islam bisa jadi disebabkan oleh ketakutan mush Islam akan berkembangnya Islam lebih luas di Tanah Papua. Akan tetapi balas lah kebencian dengan cinta, dan kekerasan dengan kelembutan. (*)