Wajah Islam di Tanah Jawa (1): Sebuah Pengantar

Kapan dan bagaimana sejarah masuknya Islam ke tanah Jawa sampai sekarang masih menyimpan banyak misteri. Banyak sekali versi sejarah, yang kadang membuat para sejarawan bingung sendiri.

Tulisan (serial) ini tidak akan membahas soal perdebatan tersebut, biarlah para sejarawan sejati terus berusaha mengungkap misteri itu dengan beragam artefak sejarah dan argumentasi dalam analisisnya.

Tulisan (serial) ini hanya akan mendeskripsikan wajah Islam di Nusantara, terutama di tanah Jawa yang sampai sekarang terus menjadi tolok ukur umat Islam di Indonesia. Karena di pulau inilah secara kwantitas jumlah pemeluk Islamnya yang terbanyak. Di samping itu wajah atau “ekspresi keislamannya” juga sangat beragam, sekaligus menjadi penanda banyaknya pengaruh “luar” terhadap ajaran Islam yang masuk ke tanah Jawa ini.

Saya ingin memulai tulisan ini dengan isu tentang wali songo. Hampir semua orang Islam di Indonesia dan khususnya di pulau Jawa, pasti pernah mendengar istilah wali songo ini. Sebuah konsep atau istilah yang dilekatkan pada sekelompok ulama penyebar Islam di tanah Jawa. Meskipun sebenarnya Islam sudah masuk ke tanah Jawa jauh sebelum era wali songo muncul.

Namun kenapa era wali songo itu begitu “populer”? Hal itu dikarenakan pada masa inilah ekspresi Islam secara simbolik masuk ke ruang-ruang publik dan bukan semata di ruang privat. Bahkan sudah mampu “mempengaruhi” wajah sistem politik yang saat itu yang masih dikuasai oleh Majapahit yang beragama Hindu.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah keberadaan “Wali Songo” yang umumnya atau hampir semuanya berada di pesisir Utara tanah Jawa. Dari wilayah Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Sementara di sisi lain, pada saat yang sama, pusat-pusat kekuasaan (kerajaan yang beragama Hindu) kebanyakan berada di daerah “pedalaman”, yang relatif jauh dari pantai Utara Jawa, yang menjadi jalur pelayaran utama saat itu di Nusantara.

Hal ini juga banyak memunculkan pertanyaan, kenapa kerajaan di Jawa banyak terkonsentrasi di daerah pedalaman ketimbang di pesisir pantai. Salah satu sebab kenapa kerajaan itu lebih memilih membangun istananya di daerah pedalaman dan bukan pesisir adalah “trauma politik”.

Kita mengenal kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan yang kuat armada “maritim“nya. Meskipun akhirnya dinasti ini runtuh karena pengaruh “serangan” eksternal yang sangat kuat. Karena itulah sebagian keluarga kerajaan Sriwijaya yang selamat dan menjadi “pelarian” politik, masuk ke pedalaman Jawa, sebagai pulau terdekat dari Sumatera.

Sebagian pelarian itu kemudian “merintis” kerajaan baru dengan “berkoalisi” melalui jalur pernikahan dengan penguasa lokal tanah Jawa. Sebagai pelarian politik mereka lebih suka menyembunyikan “identitas” mereka dan membangun identitas baru di pedalaman Jawa yang tentu lebih susah dilacak.

Latar sejarah politik dan kultural di atas inilah yang sangat menentukan wajah Islam di tanah Jawa. Daerah pesisir (Utara Jawa) adalah daerah yang sangat terbuka, karena menjadi jalur perdagangan utama para saudagar dari berbagai belahan dunia.

Para saudagar tersebut bukan hanya membawa komoditas perdagangan semata, tetapi juga nilai budaya, agama dan politik. Dari sinilah awal mula kenapa kondisi sosial budaya dan politik masyarakat pesisir jauh lebih dinamis ketimbang masyarakat pedalaman. Heterogenitas masyarakat pesisir dibangun oleh hasil interaksi yang intensif antara para saudagar —yang kala itu selalu membutuhkan waktu relatif lama untuk singgah dan melakukan transaksi— dengan penduduk lokal.

Bahkan tidak jarang sebagian dari saudagar ataupun penumpang kapal para saudagar itu yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk lokal dan beranak turun. Di sinilah kemudian terjadi proses akulturasi budaya yang diikuti dengan proses-proses transfer pengetahuan, nilai budaya, dan agama terjadi.

Hal ini menjadi bukti bahwa sejak dahulu masyarakat lokal Nusantara sudah sangat “toleran” dan begitu mudah “beradaptasi” dengan budaya luar. Kita bisa melihat dengan mudah bagaimana pengaruh agama Budha, Hindu, Islam dan Nasrani (Kristen) di masyarakat hingga sekarang ini. Ini menjadi semacam artefak kultural dan sosial yang menjadi bukti bahwa kita adalah bangsa yang terbuka, toleran dan bisa hidup dalam keragaman budaya dan agama.

Menarik untuk dicermati adalah bahwa meskipun agama-agama besar dunia itu masuk ke Indonesia dengan cara yang “relatif” damai, tetapi tidak satu agama pun yang sampai sekarang bisa benar-benar “menaklukkan” nilai budaya lokal masyarakat Nusantara terutama di tanah Jawa. (Sebab kalau melihat di beberapa daerah lainnnya seperti Aceh, Bali dan Sulawesi, ada semacam “dominasi” nilai agama tertentu yang relatif kuat menutupi nilai lokal. Meskipun tidak sampai “mematikan” budaya lokalnya).

Inilah kenapa saya menilai karakteristik masyarakat Jawa itu sangat unik dan menarik. Karena seolah dibangun di atas pondasi yang memang sudah “beragam” sejak awal.

Saya sering berangan-angan bahwa memang betul tanah Jawa ini adalah tanah sorga tempat tumbuhnya keragaman (bukan hanya hayati/biologis). Tetapi juga keragaman kehidupan sosial dan budaya. Tanah yang begitu sempurna dan seolah menjadi tempat awal hidupnya Nabi Adam dimana beliau diajari secara langsung oleh Allah dengan keragaman semua nama-nama (ayat-ayat)-Nya. Maka penduduk Nusantara ini seolah tak pernah kaget dengan datangnya agama, budaya dan bahkan teknologi baru yang masuk ke tanah sorga ini. Karena semua itu pernah mereka “pelajari” langsung dari alam yang menjadi ayat atau tanda kekuasaan Allah. Mereka seolah sudah begitu “merasa” aman hidup bersama di dalam ayat-ayat Allah itu.

Namun sejak lahirnya modernisme, ketika manusia mulai lebih sering melakukan pengrusakan secara sistematis dan massif. Orang Jawa mulai gelisah, kegelisahan orang Jawa muncul dengan isyarat “Jongko Joyoboyo” yang kemudian banyak dikutip oleh “Ronggo Warsito”. Dimana keduanya “memprediksi” akan munculnya “Zaman Akhir” yang dipenuhi “kerusakan” tatanan kehidupan manusia.

Prediksi ini juga mulai terbukti sejak bangsa Barat melahirkan mitos tentang “Pengetahuan Ilmiah” yang lebih mengandalkan nalar rasional ketimbang nalar spiritual. Mitos pengetahuan ilmiah inilah yang kemudian melahirkan revolusi teknologi (industrialisasi) yang kemudian mendorong bangsa Barat melakukan kolonialisme dan mengembangkan kapitalisme, untuk memenuhi hasrat individualisme. Dimana semua proses itu mengarah pada mekanisme “penghancuran diri” atau dunia tempat manusia hidup selama ini, dengan tangan mereka (manusia) sendiri. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat Al Qur’an tentang “protes” para malaikat kepada Allah SWT, ketika Allah mengamanahkan peran “khalifah” kepada manusia. (*)

Tawangsari 21 September 2020

Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network