DUNIA TANPA IMAJI (?)
Santri dan Pesantren dalam Sinema Indonesia

SUATU kali sutradara senior Eros Djarot bilang bahwa apabila ada cerita film yang tidak logis, tidak nalar, itu karena begitu banyak hal yang tidak logis dalam masyarakat. Pendapat ini membayang film sebagai cermin yang merefleksi tetapi tanpa proyeksi.
Refleksi artinya pemantulan kenyataan, proyeksi artinya merefleksikan kesadaran dan motif sang auteur (pembuat) film. Catatan pendek ini berusaha mengajak kita untuk sedikit melihat film sebagai suatu refleksi sekaligus proyeksi.
Kita paham bahwa sinema Indonesia mulai menunjukkan tanda kebangkitan untuk kedua kalinya (setelah kejayaan pertama pada dekade 60-an sampai 80-an) pada awal dekade yang lalu. Kebangkitan ini setidaknya kita ukur dari catatan komersil jumlah penonton. Sejak awal dekade yang lalu telah lahir rekor-rekor jumlah penonton.
Meskipun banyak hal di luar dunia film yang menjadi faktor kebangkitan tersebut seperti menjamurnya konsumen kelas menengah baru, kita juga bisa menemukan faktor-faktor penting dalam dunia perfilman itu sendiri. Diantaranya adalah kemunculan sutradara-sutradara muda yang menggebrak dengan karya-karya baru.
Faktor penting lain adalah pengadaptasian karya-karya sastra dengan tingkat kepopuleran luas ke layar lebar. Karya-karya sastra populer tersebut tidak hanya menjadi iklan promosi atas film, melainkan juga ikut berperan menggeser minat para auteur film di tanah air yang selanjutnya bisa kita baca sebagai indikator pergeseran minat para audien film di tanah air. Contoh terbaru tentu saja film dari novel kontroversial, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Pada tahun 90-an dua sineas kawakan, Asrul Sani dan Misbach Jusa Biran, mempertentangkan dua hal yakni kualitas film dengan selera pasar. Menurut mereka, film-film Indonesia pada dekade-dekade sebelumnya tidak menunjukkan kualitas yang pantas untuk dikonsumsi kalangan terpelajar sebab film-film pada waktu itu hanya mengangkat persoalan seputar seks dan kekerasan.
Bagi mereka, kalangan terpelajar harus segera ikut bekerja dalam dunia perfilman bila film Indonesia ingin menjadi lebih baik. Pikiran keduanya secara tersirat membentuk bineritas antara film kalangan terpelajar dan film kalangan tak terpelajar. Film kalangan tak terpelajar adalah film yang bertujuan sekedar untuk komersil.
Sedangkan film kalangan terpelajar adalah film yang menjadi kendaraan bagi ide-ide yang dianggap lebih tinggi atau film yang membawaserta dalam dirinya ide-ide sosial, relijius, pendidikan, budaya, keadilan, dan sebagainya. Ada tidaknya ide-ide tersebut menjadi syarat definitif atas buruk atau tidaknya suatu karya. Pikiran mereka ini sebenarnya tidak jauh dari oposisi klise karya adiluhung dengan karya populer.
Dengan demikian, bagi mereka situasi perfilman yang ideal adalah situasi dimana kualitas karya adiluhung didukung oleh ciri komersil karya populer atau secara sederhana, kualitas karya dan tujuan komersil tergapai secara bersamaan.
Masa ini ketika batas antara karya adilihung dengan populer telah mencair, kita menemukan situasi yang seolah-olah merupakan perwujudan dari situasi ideal yang dibayangkan kedua aktivis film tersebut. Film-film “beride” sekaligus “laris” bermunculan di pasar tanah air. Meskipun kualitas ide-ide yang bermunculan masih bisa diperdebatkan, tetapi setidaknya sudah menjauh dari persoalan seks dan kekerasan.
Salah satu ide yang diajukan beberapa film adalah ide pendidikan Islam atau dunia santri. Sejak dekade 2000-an awal sampai saat ini, setidaknya ada 6 film yang mengangkat persoalan dunia santri dan pesantren yaitu Perempuan Berkalung Sorban (PBS), Tiga Doa Tiga Cinta (TDTC), Negeri Lima Menara (NLM), Sang Pencerah, Sang Kiai, dan satu film penting meskipun ia hanya sedikit menyinggung dunia santri yakni film Lovely Man.
Kelima film tersebut terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama memberikan beberapa catatan: dunia pesantren berkontribusi bagi spirit nasionalisme, pesantren berusaha menjawab persoalan masyarakat, pesantren mendidik generasi menjadi manusia berkarakter Islami dan dunia kerja bukan tujuan utama, santri ialah identitas yang stabil dan dunia luar pesantren itu labil atau identik dengan chaos, dan menjadi santri ialah kebanggaan.
Sedangkan tipe kedua mengajukan pertanyaan-pertanyaan: benarkah dunia pesantren steril dari unsur-unsur dunia luar yang dianggap chaos? Benarkah menjadi santri suatu kebanggaan? Masih relevankah dunia pesantren? Bagaimana pesantren yang tertutup merespon persoalan zaman dan masyarakat yang terbuka? Benarkah santri ialah identitias yang stabil?
Tipe kedua ini mencairkan batas-batas atau memersoalkan batas-batas fisik dan pikiran yang dibangun oleh pesantren. Intinya memertanyakan posisi pesantren dan santri di tengah zaman keterbukaan. Film SP, SK, dan NLM termasuk dalam tipe pertama dan film 3D3C, PBS, dan LM termasuk dalam tipe kedua.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tipe kedua tidak menuntut jawaban: Pesantren IT, SMP/ SMA Islamic Boarding School, Pesantren Modern, dan sebagainya, sebab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak menuntut jawaban praktis yang eksperimentatif, melainkan melemparkan dinamit bagi pikiran pemirsa tentang hakikat manusia dan segala potensinya.
Mereka bersumber dari cara berpikir oposisional: pesantren dilawankan dengan dunia luar pesantren. Mereka merupakan turunan dari pertanyaan mendasar: mana lebih baik, mendidik anak di dunia tanpa sekat dengan segala kemungkinan dan tonjokan hidup yang akan mematangkan anak didik atau dunia tertutup atau pun semi tertutup pesantren yang mempersempit kemungkinan-kemungkinan hidup? Mana lebih baik, terdidik di dunia nyata atau di simulasi dunia nyata?
Dunia pesantren dilawankan dengan dunia luar berdasar pada terbuka atau tidaknya kemungkinan penyaluran hasrat, sosialisasi, kebebasan berimajinasi, dan eksplorasi potensi. Pesantren sebagai sistem yang baku dihadap-hadapkan dengan manusia sebagai diri yang kompleks.
Film-film tipe kedua menciptakan situasi-situasi paradoks. Dalam film 3D3C misalnya, terdapat tiga santri yang tidak sepenuhnya taat dan berperilaku santri. Meskipun dididik di lingkungan pesantren, namun menyimpan hasrat atas yang lain. Yang ditekankan bukanlah karakter santri, melainkan karakter sebagai manusia yang memiliki kemungkinan tak terbatas.
Situasi lebih ekstrim ditunjukkan film PBS, pemberontakan atas tradisi rigid pesantren dilakukan seorang santri perempuan. Tidak seperti film 3D3C, film PBS secara jelas mengatakan pesantren bukanlah sistem pendidikan yang ideal.
Film Lovely Man lain lagi, meskipun di dalamnya tidak ada pengadeganan di dalam pesantren tetapi ia mencairkan batas-batas pesantren-luar pesantren dengan menempatkan hasrat pada titik sentral: si Ipuy, sang ayah, ialah transgender penjaja diri dan si Cahaya, sang anak, ialah santri yang hamil di luar nikah. Batas mengabur, segala mencair, segala mengalir tak ke muara-tak ke pusat.
Dengan demikian, pertanyaan penting yang diajukan film-film tersebut dan penting dipikirkan bersama: leburnya batas-batas, tuntutan keterbukaan, dan tuntutan atas kreativitast bisakah dijawab oleh pesantren yang sejak awal memang sudah mewakafkan dirinya untuk menjawab persoalan umat?
Saya akhiri catatan ini dengan ungkapan Erich Fromm dalam buku The Art of Loving: “Man is gifted with reason; he is life being aware of itself; he has awareness of himself, of his fellow man, of his past, and of the possibilities of his future.” Tabeq. (*)
M Khairussibyan, Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan, Lombok, dan Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.