Film The Santri
Livi Zheng, Santri dan The Santri
Dalam sebulan terakhir, setidaknya ada dua isu yang melejitkan nama Livi Zheng, seorang sutradara kontroversial kelahiran Blitar.
Pertama, klaim Livi bahwa filmnya yang berjudul Bali; Beats of Paradise lolos seleksi nominasi Oscar.
Pada dasarnya, klaim ini memang bukan omong kosong belaka. Judul film tersebut benar-benar termasuk dalam daftar in contention to Oscar kategori best picture. Yang sebenarnya terjadi adalah, Livi memanfaatkan ketidaktahuan publik dan kelatahan masyarakat, bahkan media, terhadap sesuatu yang berbau ‘go international’.
Faktanya, untuk masuk ke daftar tersebut adalah cukup dengan memenuhi persyaratan administratif tanpa mempertimbangkan kualitas dari film itu sendiri.
Kedua, Livi bersama saudaranya, Ken Zheng menyutradarai film The Santri, hasil kolaborasi dengan NU Chanel, sebuah platform online milik Nahdlatul Ulama.
Pada unggahan video trailer, NU Chanel membawa narasi bahwa film The Santri ini diharapkan dapat menjadi alat promosi nilai-nilai toleransi, antiradikalisme, antirasisme dan dukungan terhadap inisiatif pemuda regional serta global.
Menghadirkan Wirda Salamah Ulya dan Azmi Iskandar sebagai pemeran utama, film ini mulanya sukses mencuri perhatian kaula muda pesantren. Nama keduanya memang sedang melejit selama tiga tahun terakhir.
Namun, setelah video trailer diunggah, film ini justru memancing perdebatan, terutama di kalangan santri itu sendiri. Scene-scene yang dicatut dalam video promosinya dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai pesantren dan keislaman, sesuatu yang diusung oleh film tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ, seruan boikot dari netizen pun bermunculan. Interaksi antara santri putra dan santri putri yang ada dalam film itu dianggap akan membawa pengaruh negatif bagi perilaku santri dan mengeruhkan citra pesantren. Scene ketika Wirda dan Veve Zulfikar menyerahkan tumpeng kepada pemuka agama lain di sebuah Gereja juga dianggap penyusupan nilai liberalisme.
Referensi Mengenal Pesantren
Bagi saya sendiri, dengan mengabaikan perdebatan yang ada, penggalan film ini cukup membingungkan. Bukan soal interaksi antara santri putra dan santri putri, serta penyerahan tumpeng ke Gereja. Melainkan lebih pada mengenai waktu yang melatarbelakangi cerita The Santri.
Dipandang dari sisi teknologi yang dipakai, laptop dan pesawat, misalnya, jelas bahwa shootnya adalah kehidupan santri era modern. Namun, scene Wirda dan Azmi sedang berkuda justru membuat saya ragu.
Benar bahwa aktivitas berkuda masih digemari hingga saat ini. Tetapi perlu dicatat juga, aktivitas tersebut hanya dilakukan oleh kalangan tertentu sebagai hobi eksklusif, bukan alat transportasi. Sepertinya, santri tidak termasuk dalam kalangan itu.
Baca juga: Santri dan Pesantren dalam Sinema Indonesia
Sebagai orang yang pernah belajar di pesantren, bagi saya scene film ini terasa terlalu tidak nyata. Banyak kejadian-kejadian yang ditampilkan hampir tidak pernah saya lihat dalam kehidupan santri sebenarnya. Tidak mampu saya bayangkan, apa kira-kira yang dilakukan oleh seorang santri, sehingga ia dikejar untuk dihabisi. Bisa lihat scene Azmi di depan laptop dan sesudahnya.
Selain itu, cukup disayangkan bahwa film ini masih membawa narasi tentang kemegahan Amerika, bahwa hebat selalu sama dengan pergi ke luar negeri. Pandangan yang seharusnya sudah punah dari alam pikir kita, dan dipangkas eksistensinya. Toh, masih ada tokoh-tokoh yang berkarya di dalam negeri, yang bahkan melambung hingga manca negara.
Namun jika melihat siapa sutradaranya, saya sama sekali tidak kaget. Kalimat “…Berangkat, dan bekerja di Amerika. Buatlah negaramu dan agamamu bangga” adalah narasi yang ‘sangat Livi Zheng’. Testimoni dari Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj di akhir video juga tidak perlu dipertanyakan. Karya-karya Livi memang selalu dipenuhi dengan ‘testimoni-testimoni’.
Tetapi, bagaimanapun, rasanya tidak tepat ketika pemboikotan justru muncul mendahului film itu sendiri. Hingga saat ini, The Santri belum secara resmi diluncurkan dalam versi utuh. Video trailernya pun baru diunggah sepuluh hari yang lalu, yakni 9 September 2019.
Baca juga: Film Penjuru 5 Santri Ajari Indonesia Belajar pada Pesantren
Bagi anda yang semula berniat mengikuti film ini, tidak ada masalah untuk menindaklanjuti niat tersebut begitu filmnya sudah tayang. Ini bukan kali pertama masyarakat dibuat bingung dengan ide-ide pemboikotan. Sebelumnya pernah terjadi pada film Dua Garis Biru, film yang menurut saya bagus sekali.
Tetapi, The Santri bukan satu-satunya referensi bagi anda yang ingin sekali mengenal pesantren melalui film. Jauh sebelum ini, pernah hadir film Negeri Lima Menara dan film-film lain yang juga bisa anda cari. (*)
Fatima Vitri Imania, Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee, aktif di Forum Lingkar Pena. Kini tengah studi di Fakultas Ilmu Budaya Unair Surabaya.