Idul Fitri Tanpa Mudik

Kendati mudik dilarang oleh pemerintah, banyak kaum urban yang memaksakan diri tetap melakukannya. Sudah 2 tahun semenjak Pandemi Covid-19, ritual pulang kampung dilarang. Alasannya sama, demi mencegah penularan virus Corona kian meluas di berbagai pelosok tanah air.

Banyak yang tak dapat menahan rindu berjumpa dengan keluarga. Idul Fitri dinilai sebagai momentum yang paling tepat dan pas untuk berkumpul merayakan hari raya dan menjalin silaturahmi dengan sanak saudara, handai taulan dan teman waktu kecil.

Idul Fitri dan mudik ibarat makanan dan bumbunya. Sehingga, larangan mudik oleh pemerintah membuat hari raya terasa hambar. Padahal menurut dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silvario Raden Lilik Aji Sampurno, mudik secara historis sudah berlangsung semenjak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Para pejabat yang ditugaskan oleh raja di wilayah kekuasaan kerajaan yang terberbentang luas di nusantara sampai Semenanjung Malaya dan Srilanka, lazim pulang kampung pada hari raya tertentu dan terutama hari raya Idul Fitri bagi umat Islam.

Sesungguhnya, mudik merupakan tradisi agung yang sudah berjalan sejak abad ke-11 Masehi sampai sekarang ini. Dari tahun ke tahun, wabilkhusus setelah fenomena urbanisasi merajalela, jumlah pemudik semakin bertambah besar. Banyak penduduk yang mengadu nasib di pusat pertumbuhan ekonomi. Urbanisasi merupakan keniscayaan. Banyak perantau yang nomaden di tempat baru dan anggota keluarga tetap ditinggalkan di kampung. Juga kaum urban yang sudah menetap di daerah baru, namun sanak keluarga masih banyak di daerah. Mereka para pemudik yang rela antri di bandara, stasiun dan terminal. Mereka pula yang rela berjibaku dengan kemacetan di jalan tol dan seterusnya.

Pada 5 tahun terakhir sebelum merebaknya virus Corona, jumlah pemudik dari tahun ke tahun meningkat tajam. Pada 2014, jumlah pemudik sebanyak 23,09 juta jiwa. Pada 2015 menjadi 23,40 juta jiwa. Pada 2016 menjadi 23,50 juta jiwa. Pada 2017 menjadi 26,36 juta jiwa. Pada 2018 menjadi 28,99 juta jiwa. Sementara, pada 2019 meningkat menjadi 33,75 juta jiwa.

Peningkatan jumlah pemudik membuktikan bahwa mudik merupakan budaya kolosal urban yang trendy bagi orang perantauan. Penduduk miskin pun tak mau kalah. Juga ada yang ikut mudik meski ada yang harus naik sepeda motor dan ada pula yang jalan kaki.

Magnitude mudik semakin terasa luar biasa, tatkala larangan keras diterapkan plus penjagaan yang ketat di berbagai daerah perbatasan. Namun, pemudik tetap menerobos paksa dan ada di antara mereka ditangkap lalu dikarantina. Ancaman sanksi pidananya tak menyurutkan mereka udik ke kampung. Besarnya animo dan jumlah pemudik pada 2021 membuat aparat merasa kewalahan dan tak mampu membendung arus mudik tersebut.

Karena itu, mudik berdimensi kompleks. Antara lain: teologis, psikologis, sosiologis, antropologis dan ekonomis.

Pertama, sejatinya mudik manifestasi ajaran silaturahmi. Orang yang gemar menjalin hubungan baik dengan sesama diyakini secara teologis bermanfaat untuk memperluas rezeki dan memperpanjang umur. Apalagi dengan orang tua, bukan hanya bentuk pengamalan ajaran silaturahmi akan tetapi lebih dari itu, merupakan wujud dari ajaran birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua).

Kedua, rasa rindu yang dalam kepada kedua orang tua dan kampung halaman. Tiap orang secara psikologis punya hubungan batin dengan orang yang melahirkan dan tempat kelahirannya. Hubungan batin semacam itu, semakin diingkari maka semakin sulit dinafikan. Dan, kerinduan adalah buah cinta terhadap sesama dan alam semesta sebagai anugerah dari Tuhan.

Ketiga, adalah back to village (balik ke desa) merupakan feedback (umpan balik) dari fenomena urbanisasi. Kaum urban secara sosiologis mengalami kejenuhan dan kepenatan terhadap struktur kehidupan perkotaan. Mereka ingin menikmati kembali suasana kehidupan pedesaan yang hijau nan asri. Memori kebersamaan hidup nun jauh dari kota, menyegarkan tiap orang akan hakikat diri sebagai makhluk individu dan sosial. Kebersamaan sebuah kenikmatan sosial yang terlahir dari interaksi sosial berimbang dan harmonis.

Keempat, budaya timur mengajarkan tiap orang menghormati orang tua. Termasuk menghormati yang lebih tua. Mudik secara antropologis merupakan tradisi yang sangat kental. Tradisi ini diwariskan berabad-abad secara turun-temurun. Tiap orang bebas mengekspresikan budaya silaturahmi tanpa melihat suku, agama, ras dan budaya.

Kelima, tiap orang yang pulang kampung dalam rentang waktu seminggu atau lebih akan membutuhkan biaya yang banyak. Butuh biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, rekreasi dan oleh-oleh selama mudik. Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) memperkirakan uang yang berputar waktu mudik 197 triliun, terdiri dari dana pengeluaran mudicnomic 138 triliun dan remintasi 59 triliun.

Perputaran uang ini merangsang pertumbuhan ekonomi daerah. Product Domistic Regional Bruto (PDRB) bergantung pada konsumsi rumah tangga, pemerintahan, dan investori. Sehingga mudik berdampak pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi daerah.

Dari berbagai dimensi mudik di atas, mudik sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat daerah. Apalagi mudik ini merupakan khas Indonesia yang menyertai hingar bingar puasa dan hari raya Idul Fitri. Mudik hanya ada di Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya, mudik tak ditemukan padanannya. Itulah kontribusi Islam Indonesia terhadap kebudayaan dan peradaban umat Islam dunia. (*)

Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network