Meredam Radikalisme Agama

Beberapa bulan lalu, di Jawa Timur lahir komunitas baru: Forum Silaturahmi Ta’mir Masjid dan Mushala Indonesia (Fahmi Tamami). Komunitas ini dibentuk dan diresmikan oleh Ketua Fahmi Tamami Pusat H Rhoma Irama. Kehadiran Fahmi Tamami ini menyembulkan optimisme dan harapan baru bagi masyarakat, khususnya masyarakat di Jawa Timur, dalam menekan potensi radikalisme dan kekerasan yang bernuansa agama.

Optimisme ini setidaknya bisa dilihat dari respons positif banyak pihak, terutama para tokoh agama Jawa Timur. Pada acara peresmian di kantor Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Jatim itu hadir sejumlah kiai dan pengurus NU. Di antaranya KH Hasan Mutawakkil Alallah (Ketua PWNU Jatim), KH Miftahul Akhyar (Rais Syuriah PWNU Jatim), KH Fawaid As’ad (pimpinan Ponpes Syalafiah As-Syafi`iyah Situbondo), dan KH Agoes Ali Masyhuri (pengasuh Ponpes Bumi Shalawat Tulangan, Sidoarjo).

Fahmi Tamami, menurut H Rhoma Irama, muncul karena adanya keresahan atas upaya pengambilalihan masjid oleh kelompok Islam radikal. Belakangan ini, di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) telah tumbuh dan berkembang pesat gerakan Islam radikal. Implikasinya, muncul ritual-ritual baru di masjid, di luar yang biasa diajarkan Islam pada umumnya.

Modusnya, kalau ada masjid yang tidak memiliki unsur organisasi dengan jelas, perwakilan Islam radikal itu akan mengontrak rumah di sekitar masjid. Lantas, mereka menawarkan diri untuk menjadi pengurus masjid, guru mengaji, serta pendakwah. Perlahan tapi pasti, akhirnya mereka mulai (berani) mengafirkan, memfitnah, dan membid’ahkan ajaran dan tokoh-tokoh Islam yang menjadi panutan masyarakat sekitar.

Berangkat dari keprihatinan itulah, H Rhoma Irama berinisiatif membentuk organisasi Fahmi Tamami yang didukung oleh Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi, dengan harapan mampu menyelamatkan masjid dan mushala dari (pengaruh) gerakan Islam radikal. Dengan demikian, masjid dan mushala tidak lagi menjadi basis dalam memupuk ajaran-ajaran agama yang beringas.

Islam Moderat
Beberapa tahun terakhir ini, fenomena kekerasan (terorisme) terus mewarnai kehidupan kita. Umumnya, setiap serangkaian kekerasan itu lahir dari kelompok Islam radikal. Tidak mengherankan kalau kemudian kekerasan dilekatkan pada diri kelompok Islam radikal tersebut. Padahal, terorisme bukan merupakan bagian dari ajaran agama.

Kelompok Islam radikal umumnya tidak memahami Islam secara utuh dan benar. Islam dipahami hanya secara sepotong-sepotong. Ciri khas kelompok radikal adalah menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Menurut mereka, teks harus dipahami sebagaimana adanya. Sebab, nalar manusia dinilai tidak akan mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.

Pola keberagamaan yang dikembangkan oleh mereka itu, meminjam bahasa Khaled Abou El Fadl (2003: 31), melalui pola pembacaan teks suci yang keluar dari konteks sejarah dan konteks moral. Teks suci lebih didekati atau dibaca secara literalistik, rigid, statis, dan tertutup. Akibatnya, mereka cenderung memberi legitimasi terhadap tindakan-tindakan destruktif tersebut, kendati tindakan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Sejarah mencatat, Islam yang dianut mayoritas masyarakat di Nusantara saat ini sejatinya merupakan Islam yang didakwahkan Wali Songo. Islam yang diajarkan Wali Songo ini memiliki ciri khas moderat dan toleran. Paham itu sudah ada sejak ratusan tahun silam, sehingga menjadi ciri khas Islam di Indonesia.

Islam adalah agama damai yang memiliki misi besar sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Ajaran Islam mengharuskan sikap moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh), menghargai perbedaan, dan mengajak kita untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang harmonis. Agama menegaskan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan universal dan perdamaian.

Fungsi Masjid
Pada masa Nabi Muhammad SAW, masjid merupakan pusat pengembangan masyarakat dan kegiatan dakwah. Sejarah mencatat, salah satu langkah strategis dan yang pertama dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat madani di Madinah adalah mendirikan masjid.

Masjid memiliki fungsi penting dalam kehidupan sosial. Meski fungsi paling utama sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat berjamaah, masjid juga bisa dipergunakan untuk kepentingan sosial.

Masjid berperan dalam mengoordinasi mereka guna menyatukan potensi dan kepemimpinan umat. Masjid merupakan jantung kehidupan umat Islam yang selalu berdenyut untuk menyebarluaskan dakwah Islam. Di masjid pula direncanakan, diorganisasi, dikaji, dilaksanakan, dan dikembangkan dakwah dan kebudayaan Islam yang menyahuti kebutuhan masyarakat. Karena itu, masjid berperan sebagai sentra aktivitas dakwah, sosial, dan kebudayaan.

Dalam perjalanan sejarahnya, masjid mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi dan perannya. Hampir dapat dikatakan, di mana ada komunitas Muslim di situ ada masjid. Umat Islam seolah tidak bisa terlepas dari masjid. Di samping menjadi tempat beribadah, masjid menjadi sarana berkumpul, menuntut ilmu, bertukar pengalaman, pusat dakwah dan sebagainya.

Sebagai pusat dakwah, masjid juga merupakan media yang cukup ampuh untuk membendung terjadinya arus radikalisme agama. Masjid bisa menjadi sarana yang cukup efektif dalam menyemai dan memupuk ajaran Islam yang moderat dan toleran bagi umat Islam.

Potensi, peran, dan fungsi yang dimiliki masjid ini dapat dijadikan kekuatan untuk menetralisasi paham keagamaan yang bernuansa teroristik. Dengan demikian, diharapkan pada tahun-tahun mendatang, benih-benih radikalisme agama tidak tumbuh subur secara bebas di Indonesia. Semoga. Amin. Wallahu a’lam. (*)

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Suara Karya, Kamis 25 Maret 2010.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network