Involusi Agama dan Kebodohan Bidah Sosial

Alih-alih mendatangkan kedamaian, saat ini agama justru menjadi sumber konflik yang tak berkesudahan. Proses pendangkalan pemahaman keagamaan bisa dipastikan menjadi salah satu sebab munculnya fenomena ini.

Proses ini diawali dari semakin bergesernya orientasi beragama dari bertumpu pada substansi nilai dan moral keagamaan menjadi praktik keagamaan yang formal tekstual. Gejala ini semakin diperparah semenjak media sosial berkembang dengan sangat pesat dan menjadi referensi utama para penggunanya dalam berkehidupan. Termasuk dalam kehidupan beragama.

Doktrin keagamaan yang tekstual dan formalis dengan sangat cepat dipahami sebagai “tujuan akhir”. Akibatnya nilai substansi menjadi kalah dengan simbol yang “mengantarai” dengan tujuan. Bahkan tak sedikit yang menjadikan simbol sebagai tujuan beragama. Sedangkan keadilan dan kedamaian yang menjadi tanda hadirnya tujuan akhir “Ridha Allah” malah dikesampingkan.

Praktik ritual keagamaan yang formalis inilah yang kemudian dijadikan “komoditi” untuk diperjual belikan. Segera saja muncul gejala involusi “gelar” ustad, gus dan kiai atau ulama. Masyarakat dengan sangat mudah dan murah memberikan gelar-gelar kehormatan “keagamaan” kepada seseorang yang berpenampilan religius. Asal bisa mengutip sedikit ayat dan hadits, serta memakai kopiah, sorban dan gamis sudah bisa mendapatkan gelar ustadz.

Padahal jika mengacu pada sejarah kenabian Rasulullah Muhammad, beliau merintis kepercayaan masyarakat sejak dini. Bagaimana beliau mendapatkan gelar al-Amin dalam masyarakat Quraisy, hal itu dilakukan sejak kecil. Beliau dikenal sebagai anak yang jujur, santun, dan kuat dalam memegang dan menjalankan amanah. Begitu mulianya akhlak beliau sampai semua makhluk (termasuk bangsa Arab Jahiliyah) mencintainya. Bahkan sang Khaliq pun memilih dia sebagai “kekasih-Nya”.

Sekarang ini kita malah membikin “bid’ah sosial” dengan melakukan pemberian gelar-gelar yang kita sendiri tak memahami maksud dan arti dari gelar itu, hanya karena manusia itu sering “beriklan” di media. Pelawak, penyanyi, aktor, aktris kita beri gelar ustadz dan bahkan ulama.

Gejala ini tentu saja memunculkan pertanyaan, jangan-jangan otak dan hati kita terlalu sering dicuci dengan doktrin agama yang “dangkal”. Seperti iklan diterjen “plus” super pemutih sehingga menghasilkan kebersihan instan pada baju yang sebenarnya malah cepat merusak baju itu sendiri. Begitulah doktrin agama itu juga berpotensi merusak semua kesadaran substansi agama dan sosial.”

Bayangkan sejak kapan kita kenal secara personal dengan mereka para selebritis itu, sebagaimana orang Quraisy mengenal Nabi Muhammad? Apa kita sudah merasa cukup tahu perilaku keseharian para “artis” tersebut seperti mengenalnya kaum Quraisy terhadap kepribadian nabi Muhammad?

Kalau kita mau memberi gelar ustadz, paling tidak kita pernah memberikan amanah kepada mereka dan amanah itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, seperti ketika orang Quraisy memberi amanah kepada nabi sejak masih kecil dengan menyuruh beliau menjadi pengembala dan berbisnis ketika sudah dewasa.

Barangkali inilah “bid’ah” yang paling menghancurkan Islam di akhir zaman. Ingatlah! Tak perlu kita mencaci kesalahan para ustadz selebritis itu. Sebab eksistensi mereka menjadi tanda bahwa sesungguhnya kita sendirilah yang telah melakukan kebodohan “bid’ah sosial” dalam bermasyarakat dan beragama, dengan menyalahi prinsip tanggungjawab sosial. (*)

Tawangsari, 6 Desember 2017

Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network