Sejarah Kekerasan Dalam Agama

Sejak sebelum kuliah saya sudah mengoleksi buku-buki dan novel yang terkait tentang sejarah agama-agama langit dan ardhi. Termasuk karya Karen Amstrong dan para antropolog. Karena itulah sejak S1 sampai S3 riset yang saya lakukan selalu terkait dengan fenomena keagamaan yang saya baca dari perspektif Antropologi.
Ketika dalam webinar kemarin ada yang pertanyaan tentang fenomena menguatnya formalisme agama, saya memberikan penjelasan secara Antropologis bahwa hal itu salah satunya dipicu oleh fenomena “ketidakbahagiaan” karena terkurung dalam kemakmuran dan formalisme agama (tapi terasing dari substansi agama).
Fenomena ini memang muncul di Eropa sejak era industrialisasi, terutama di kalangan klas menengah atas. Freidan (1963), menyebut gejala ini sebagai “thralldom” (suatu keadaan di bawah dominasi kekuasaan orang lain).
Gejala ini yang menurut saya bisa menjelaskan fenomena bom bunuh diri yang dilakukan seorang ibu dengan mengajak anak-anaknya yang masih kecil. Meskipun ia berlatar belakang keluarga klas menengah (berpendidikan), namun doktrin keagamaan yang sebenarnya bersifat partikular yang dijejalkan oleh ustadz kepada suami dan keluarganya tentang konsep jihad, membuatnya tidak “bahagia”.
Hegemoni atau ketergantungan ideologis kepada sang ustadz, telah melahirkan pemahaman “sesat” tentang makna jihad atau perang agama. Akibatnya yang muncul dalam benak mereka adalah soal gambaran dunia yang sudah sedemikian buruk . Makanya harus segera “dihancurkan”.
Karena itulah muncul impian tentang pahala jihad yang berbalas sorga. Dalam keadaan seperti ini, tak ada lagi kesempatan untuk berefleksi tentang substansi apalagi soal rasa keadilan hakiki. Yang tersisa adalah semangat untuk mati “syahid” membela agama yang dipahami secara salah. Anehnya hal ini di Eropa dan di Amerika juga sedang terjadi dalam bentuk lain yakni “populisme” politik berbungkus agama. Potensi bahayanya relatif sama.
Dalam kesempatan ke depan saya ingin menulis isu-isu keagamaan ini dari perspektif sejarah dan Antropologi. Mudah-mudahan bisa bermanfaat.
Untuk diketahui saya beberapa kali menjadi santrinya Romo Josep Glinka (Polandia), bukan hanya soal “sejarah” manusia tetapi juga kadang sejarah agama di Eropa. (*)
Muhammad Khodafi, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.