Merawat Akal Sehat dalam Beragama

Islam hadir bukan sebagai agama atau keyakinan baru, tetapi sebagai sebuah “kelanjutan” dari agama yang dibawa rasul Ibrahim dan keyakinan nabi Adam. Sebuah agama yang spirit universalitasnya tersirat dalam kalimat Tauhid dan kalimat Basmalah.

Maka tidak ada kerancuan ketika agama Ibrahim ini kemudian “dilanjutkan” oleh keturunan beliau yakni Rasulullah Muhammad SAW. Manusia dan alam semesta adalah bagian dari ayat kauniyah yang melingkupi ayat-ayat qauliyah. Maka tidak mengherankan jika ayat-ayat qauliyah ini “berubah” sesuai zaman dimana nabi atau rasul yang membawanya hidup.

Meskipun secara substansi Taurat, Injil dan Al Qur’an adalah sama (sebagai Kalam Allah atau Wahyu yang diturunkan pada manusia/para nabi). Tetapi kitab-kitab suci itu berbeda secara formal, karena kitab itu dijadikan sebagai norma hukum bagi manusia pada era yang berbeda.

Semua nabi dan terutama para rasul memiliki amanah visi dan misi untuk “merekonstruksi” dan “mereformasi” kebudayaan dan peradaban manusia yang sudah dianggap mengalami “kejumudan” dalam kejahiliyahan. Sebagaimana tugas nabi Muhammad SAW yang harus “memperbaiki” akhlak manusia agar tidak terjebak pada kejahiliyahan sebagaimana dialami oleh bangsa Arab di zaman sebelum kenabian. Zaman ketika harkat kemanusiaan tidak lagi dimuliakan. Manusia dan terutama perempuan dianggap sebagai komoditi yang bisa dialihkan “kepemilikannya” kepada orang lain dengan seenaknya.

Padahal memuliakan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna adalah puncak kesadaran kebudayaan atau peradaban. Secara simbolik hal ini diperlihatkan dalam perintah Allah kepada para malaikat dan iblis agar bersujud kepada manusia (Adam). Inilah salah satu visi “kebudayaan” Islam. Yakni menjadi agama yang membebaskan manusia dari ketidakadilan perlakuan dari manusia lainnya.

Visi Islam adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Maka seharusnya semua tindakan yang tidak mencerminkan sifat, sikap dan watak “rahmat” atau kasih sayang yang dilandaskan pada rasa keimanan atau ketauhidan, itu berada di luar Islam. Mencaci, memaki, menghina, melecehkan, mendhalimi manusia dan alam lingkungannya adalah sebuah tindakan orang yang sedang tak beriman.

Jika tindakan tersebut berulang menjadi kebiasaan, akan memunculkan benih kekafiran. Tidak peduli apakah kedhaliman itu dilakukan oleh manusia yang gemar menyematkan simbol atau lambang-lambang “budaya keagamaan” pada dirinya. Dia akan tetap dianggap sebagai orang “kafir” perusak tatanan kehidupan keagamaan. Karena orang-orang dhalim ini, sedang melakukan kekafiran, yakni menutupi hakekat kebenaran universal agama Islam.

Islam adalah agama keadilan. Keadilan adalah hakekat dari keimanan. Keimanan melahirkan nalar kebenaran. Nalar (akal) Kebenaran melahirkan pengetahuan. Pengetahuan melahirkan akhlak atau tindakan (kebudayaan dan peradaban) yang memuliakan kemanusiaan.

Maka bisa dipastikan mereka yang tak berakhlak sedang terputus dari pengetahuan dan nalar akal serta keimanan. Karena itulah menjadi sangat penting merawat akal sehat dalam beragama, agar kita tidak sesat nalar. Menjadikan sisi keagamaan yang partikular sebagai visi universal dan sebaliknya menjadikan nilai yang universal sebatas unsur partikular.

Sebab jika ini yang terjadi maka sebenarnya umat sedang kembali masuk dalam “jebakan” iblis yang ingin kita menjadi jahil. Sehingga muncul pikiran dan tindakan yang berlawanan dengan visi dan misi Islam yang Rahmatan Lil aalamin.

Hari-hari ini kita disuguhi banyak peristiwa kejahiliyahan yang jauh dari kebenaran dan keadilan Islam. Hanya karena sering memakai atribut kebudayaan Islam seseorang yang menodai rasa keadilan malah dipuja-puja bagai pahlawan. Akibatnya lihatlah di mimbar-mimbar pengadilan, para tersangka, mulai dari pembunuh, pemerkosa, koruptor, bandar narkoba, pencabul anak-anak, dan pelanggar HAM, semua datang dengan atribut (budaya) keagamaan.

Masyarakat yang cultural interest nya semakin kuat dalam formalisme agama, alih-alih menolak, justru semakin “bangga” dengan “pertaubatan” mereka. Jadilah proses keadilan itu ambyar.

Sedangkan mereka yang sedang memperjuangkan keadilan universal, dengan mudahnya (tanpa proses pengadilan) dituduh sesat dan bahkan murtad hanya karena tidak menyematkan atribut keagamaan pada dirinya. (*)

Tawangsari 12 November 2020

Muhammad Khodafi, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network