Sugi Nur, Akal Sehat, dan Histeria Massa
Sugi Nur Raharja atau yang akrab dipanggil Gus Nur kembali mengundang perhatian publik. Sebelumnya, pria kelahiran Probolinggo Jawa Timur ini menjadi fenomena tipe penceramah yang khas dan unik; berdakwah dari alam kubur.
Belakangan, karakter ceramahnya penuh kontroversi dan anti pemerintah. Dia juga sempat berkonflik dengan Ansor, Banser, dan akhirnya menyatakan keluar dari NU. Belakangan, dia dilaporkan ke Polda Palu dan Polda Jawa Timur terkait kasus ujaran kebencian.
Peristiwa yang menimpa Gus Nur kali ini tidak biasa. Tersiar luas melalui video yang tersebar melalui media sosial, di beberapa tempat, terakhir di Medan pada Jumat, 14 Februari 2019, Gus Nur diinterupsi jamaahnya saat berceramah. Di antaranya yang menukik pada acara di Medan tersebut adalah pertanyaan dua orang jamaah.
Jamaah pertama mempersoalkan konten ceramah Gus Nur yang penuh dengan hinaan, sumpah serapah, dan ujaran kebencian. Menurut jamaah penanya tersebut, bagaimana mungkin kita dapat melandingkan Islam sebagai rahmatan lil alamin kalau penceramahnya hanya menebar hinaan, kebencian, dan menjelek-jelekkan pihak-pihak tertentu.
Dengan penuh ketegangan dan keriuhan yang nyaris ricuh di antara beberapa jamaah yang hadir dan laskar FPI, jamaah kedua bertanya mengenai mengapa konsep Islam Nusantara disalahkan.
Jamaah yang mengaku Ketua Rijalul Ansor, admin fanpage Generasi Muda NU dan Pengurus Aswaja Center Sumatera Utara, dan santri dari Ustadz Idrus Romli itu meminta Gus Nur menyebutkan kaidah ushul fiqh yang dapat dijadikan dalil ketidakabsahan Islam Nusantara.
Atas pertanyaan yang kedua ini, jawaban Gus Nur sangat mengagetkan. Dengan didahului pengakuannya bahwa dirinya tidak bisa baca kitab kuning dan tidak paham ilmu nahwu, dia menjawab, ketidaksetujuannya pada Islam Nusantara tidak memerlukan dalil naqli, dia menyebut dirinya menggunakan dalil aqli, dan tidak paham dalil Al-Quran, Hadits, dan kaidah fiqhnya.
Lantas, dia dengan bertanya kepada jamaah yang lain mengenai setuju atau tidak terhadap Islam Nusantara. Mayoritas jamaah yang ada di tempat itu pun seperti paduan suara menyatakan tidak setuju. Dan jawaban massa itulah yang kemudian dia jadikan dalil. Gus Nur bilang, itulah dalilnya, dalil kearifan lokal dan dalil perasaan.
Akal sehat di ruang publik
Tema-tema yang disampaikan dalam acara tabligh keagamaan mestinya adalah mauidhah hasanah (nasehat yang baik), berisi ilmu pengetahuan (umum dan keagamaan), peringatan, imbauan-imbauan akan kebaikan universal, seruan moral, dan hal-hal yang bersifat normatif.
Tema yang semacam ini cocok dalam majelis ilmu dan keagamaan, serta tidak akan mendapatkan interupsi.
Tapi tidak demikian dengan tema ceramah Gus Nur. Dia justru banyak melontarkan persoalan-persoalan kontroversial, dengan menggunakan asumsi-asumsi dan interpretasi yang tidak jarang provokatif: seperti kebobrokan pemerintah, konflik dengan NU, polemik Islam Nusantara yang ditafsirkan secara sepihak, dan lain sebagainya.
Persoalan yang demikian tentu akan lumer dalam ruang diskursif yang merupakan medan laga perdebatan. Sehingga, tidak heran jika dalam acara ceramahnya banyak bermunculan jamaah yang tergelitik untuk menguji pernyataan-pernyataan tersebut. Sebab, tema-tema itu memang lebih cocok dibawakan dalam acara diskusi, debat, atau mimbar bebas.
Jika konten diskursif tersebut berseliweran di ruang publik, maka akal sehat publik akan menangkap dan mengujinya. Akal sehat menurut konsepsi Immanuel Kant merupakan entitas yang ada dalam setiap tatanan sosial, bekerja mengontrol dan menginterupsi ketika sendi-sendi moralitas guncang, kebebasan disalahgunakan, kehendak bebas diputarbalikkan, kebaikan bersama diabaikan, dan pengalaman estetik dimonopoli atau diseragamkan (Fayyadl, 2019).
Akal sehat ini juga akan mengontrol tindakan-tindakan praktis. Ia mempertanyakan kebasahan tiap-tiap tindakan sosial atau politis, baik individu maupun kelompok.
Jadi, ketika perilaku dan sikap Gus Nur dianggap tidak memiliki landasan normatif dan melampaui batas etika dan estetika, maka publik kemudian mempertanyakan dan mengoreksi. Ini adalah indikator bahwa akal sehat publik berfungsi.
Dahaga histeria massa
Banyak orang mempertanyakan, mengapa ceramah Gus Nur yang isinya banyak sumpah serapah, hinaan, dan kebencian, masih saja laku dan bahkan sangat laris? Jadwal ceramahnya padat. Padahal temanya adalah itu-itu saja, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh salah satu jamaah perempuan yang menginterupsi ceramah Gus Nur.
Ini tentu tidak bisa dilepaskan oleh banyaknya permintaan (demand) yang begitu deras dari sekelompok orang. Mereka ini adalah sekelompok orang yang tidak mempermasalahkan kekerasan verbatim di ruang publik; seperti sumpah serapah, caci maki, hinaan dan ujaran kebencian.
Bahkan mereka tampak menikmati kekerasan verbatim tersebut. Mereka ini bisa dikatakan sebagai sekelompok orang yang terjebak dalam belenggu histeria massa.
Dalam sosiologi dan psikologi, histeria massa (juga dikenal sebagai histeria kolektif, histeria grup atau perilaku obsesional kolektif) adalah sebuah fenomena perilaku massa yang agresif, obsesif, dan tidak menentu akibat penyebaran narasi dan imajinasi ancaman kolektif (baik fakta maupun ilusi) yang menyebabkan mereka benci, pesimis, dan ketakutan.
Mereka ini dalam tingkat-tingkat tertentu butuh mengekspresikan histerianya, dan ekspresi ini juga memerlukan legitimasi, kendatipun legitimasi tersebut tidak absah dan banyak menabrak norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Yang terpenting bagi mereka bukan keabsahan, melainkan representasi simbol, baik simbol agama maupun akal. Ceramah tipe Gus Nur ini memenuhi syarat untuk dijadikan instrumen legitimatif bagi mereka.
Jadi, fenomena ceramah model Gus Nur ini sangat berbahaya bagi keamanan dan harmoni sosial. Ia bisa memecahkan konflik dan bentrok fisik karena mereka yang mengoreksi (atau resisten) dan mereka yang membutuhkan ceramah tersebut berada dalam satu lokus, kecuali menggunakan media sosial atau teleconference.
Apalagi, tensi emosi massa saat ini lebih tinggi dari biasanya lantaran menjelang Pilpres 2019. Ini harus menjadi pertimbangan semua pihak terkait, terutama aparat keamanan, dalam menyikapi merebaknya model ceramah seperti Gus Nur. (*)
Fathor Rahman JM, Dosen IAIN Jember