Pentingnya Realisme Dalam Teologi

Ketika Al-Ghazali menegaskan bahwa “sesuatu yang mungkin tidak lebih bagus daripada sesuatu yang sudah ada” untuk mengomentari orang-orang yang mempertanyakan apakah Tuhan mungkin menciptakan dunia lain yang lebih bagus dari dunia yang sudah ada, adalah sesungguhnya Al-Ghazali tampil sebagai seorang realis dalam disiplin teologi.
Salah satu ciri ajaran realisme dalam filsafat secara umum adalah memandang objek-objek indrawi sebagai yang riil dan independen terhadap pengetahuan atau kesadaran tentangnya. Di lingkup teologi, menjadi realis adalah pilihan paling aman untuk berhenti menghukumi suatu objek dengan pengandaian kita tentangnya.
Begitu melimpahnya perdebatan dalam ilmu kalam yang tiada lain timbul karena berangkat dari pengandaian dan spekulasi. Ahli kalam sering membuat suatu pengandaian kemudian dibuat bingung oleh pengandaian itu sendiri. Misalnya tentang kekuasaan Tuhan: apakah Tuhan mampu menciptakan dunia yang lebih baik dari yang sudah ada? Apakah Tuhan mampu menciptakan batu yang Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?
Pertanyaan seperti ini anti-realis lantaran berangkat dari pertanyaan spekulatif yang jawabannya pun akan bernuansa spekulatif. Jawaban ahli kalam atas pertanyaan ini biasanya berbunyi: sifat kuasa Tuhan tidak berhubungan dengan sesuatu yang niscaya dan mustahil, tetapi bertalian dengan sesuatu yang mungkin.
Seorang realis dalam teologi tidak akan mengajukan pertanyaan seperti itu apalagi sampai menjawabnya. Secara bijak ia akan mengakui adanya entitas yang independen terhadap semua bentuk kesadaran. Entitas ini bisa Tuhan bisa alam semesta.
Kesadaran selalu datang lebih akhir dari isi kesadaran tersebut yang sekaligus menandakan bahwa isi kesadaran pernah eksis tanpa adanya kesadaran. Dan seperti halnya bahwa eksistensi suatu esensi pernah tidak dikondisikan oleh kesadaran, maka esensi pasca-kesadaran pun sama sekali independen dari kesadaran.
Seorang realis mengakui independensi Tuhan beserta sifat kuasa-Nya, alih-alih menciptakan kaidah kemudian mereduksi Tuhan ke dalam sub-kaidah yang diciptakannya sendiri; alih-alih meletakkan Tuhan dalam bingkai superposisi konsep-konsep logis yang dibuatnya sendiri. Begitulah seharusnya realisme perlu dilibatkan dalam teologi.
Tetapi, dari sekian aliran realisme (realisme dogmatis, realisme spekulatif, dan realisme transendental), mana yang mesti dipakai dalam teologi? Saya tidak akan menjawabnya di tempat ini karena itu adalah bagian terpenting dalam buku saya “Being and Knowledge” yang sedang dalam tahap penyuntingan. (*)
M.S. Arifin, penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Lahir di Demak 25 Desember 1991.