Realisme Transendental Dalam Teologi
Dari beberapa jenis realisme yang sudah saya pelajari dan yang coba saya pakai untuk merekonstruksi teologi, pilihan saya jatuh pada Realisme Transendental Roy Bhaskar.
Saya tidak akan menjelaskan secara rinci alasan, motif, dan argumen saya atas pilihan tersebut di disini. Saya hanya akan mengutip kalimat terakhir Bhaskar dalam bukunya A Realist Theory of Science, kemudian akan saya bawa ke masalah teologi, yaitu: “Ialah mungkin ada dunia tanpa manusia; tetapi tidak mungkin ada pengetahuan tanpa anteseden.”
Adakah yang spesial dari kalimat ini? Tidak ada,—dan bahkan juga ribuan konsep filsafat—selain bahwa ia menyadarkan kita tentang sesuatu yang sangat dekat dengan kita namun terlupakan.
Dalam teologi kita sering memilih jalan melingkar untuk mengatakan sesuatu tentang Tuhan, seperti kasus perdebatan mengenai dzat dan sifat: apakah dzat adalah sifat, ataukah dzat bukan sifat, ataukah dzat bukan sifat dan bukan pula selain sifat?
Jika sedari dini para teolog berkata bahwa “ialah mungkin ada Tuhan tanpa manusia; tetapi tidaklah mungkin ada pengetahuan tanpa anteseden” niscaya tak banyak polemik yang muncul dan menjadi perpecahan umat. Bahwa maklum ialah mungkin ada Tuhan tanpa manusia, tetapi bagaimana dengan frase selanjutnya?
Anteseden dalam disiplin sains adalah “suatu kejadian yang disusul oleh kejadian yang lain” atau boleh kita bilang rentetan peristiwa. Tak ada pengetahuan apapun tentang sains tanpa adanya gejala alam yang ditangkap oleh pengamat, laiknya gejala jatuhnya apel dari tangkainya yang memunculkan “teori gravitasi”.
Dalam disiplin teologi, anteseden saya maknai sebagai relasi. Relasi di sini terbagi menjadi dua: relasi internal, dan relasi eksternal. Tuhan sebagai Tuhan itu sendiri adalah misteri an sich lantaran tak punya relasi yang memungkinkan pengetahuan.
Dia sebagai Dia adalah absolut in toto. Pengetahuan kita akan Tuhan menjadi mungkin ketika kita mengenal yang bukan-Tuhan. Yang bukan-Tuhan bisa apa saja, mulai dari yang berupa konsep murni, seperi “keburukan” vis-a-vis “Kebaikan”, sampai yang berupa materi kasar, seperti pohon, yakni perwujuwan yang imanen vis-a-vis “Yang Transenden”.
Tuhan menjadi terpahami ketika adanya relasi terhadap yang bukan-Tuhan, dan keterpahaman di sini harus mengandaikan aktualitas sifat-sifat Tuhan yang mewujud menjadi alam semesta, yakni sesuatu selain Tuhan.
Relasi eksternal saya maknai sebagai kejadian riil di alam semesta yang mengarah pada pemaknaan lanjutan atas hukum kausalitas. Dalam al-Quran, misalnya, terdapat ayat yang berbunyi: “Apakah mereka tidak berpikir bagaimana unta diciptakan?” Ayat ini—dan banyak lagi yang serupa—menegaskan tentang kekuasaan Tuhan.
Melalui alam semesta Tuhan ingin dikenal sifat-sifat-Nya. Pengetahuan dihasilkan dari rentetan peristiwa riil, seperti bagaimana kompleksnya struktur unta sampai ia bisa hidup berhari-hari tanpa air, sehingga peristiwa ini menunjukkan kepada ‘hukum’ atau mekanisme yang akan mengantarkan kepada Tuhan yang pasti memiliki sifat: kehendak, kuasa, ilmu, dan lain sebagainya.
Pengetahuan pertama-tama bekerja melalui pengalaman yang bersinggungan langsung dengan domain empiris (apel), kemudian mengantarkan pada persistiwa yang bersinggungan dengan domain aktual (apel jatuh), kemudian mengantarkan pada mekanisme yang bersinggungan dengan domain riil (gravitasi), dan kemudian, melalui logika demonstratif, akan mengantarkan kepada Tuhan yang menciptakan struktur alam semesta dan menjaganya tetap dalam struktur tersebut.
Begitulah karakteristik pengetahuan: ia menjangkau nama, sifat dan tindakan Tuhan, bukan dzat maupun hakikat-Nya. (*)
M.S. Arifin, penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Lahir di Demak 25 Desember 1991.