Malam 27 Ramadlan dan Tafsir Isyari Ibnu Abbas tentang Lailatul Qadar
Di kalangan masyarakat muslim Jawa terdapat tradisi “pitulikuran” atau menyambut malam 27 Ramadlan dengan mengadakan doa bersama, makan “ambengan” bersama, mendirikan shalat malam atau sekedar menyalakan lampu sepanjang malam.
Tradisi ini selain diniatkan untuk menjaring Lailatul Qadar juga sebagai persiapan menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Lailatul Qadar menjadi momen yang paling dinanti oleh umat Islam. Terdapat keagungan dan keistimewaan yang melingkupi malam tersebut, seperti derajatnya yang lebih baik dari seribu bulan. Sehingga menjadi wajar manakala masyarakat muslim di Indonesia menantikannya untuk meraih keberkahannya.
Mengenai kapan malam Lailatul Qadar terjadi setiap tahunnya, hadis yang popular di sekitar kita selama ini adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda: “carilah Lailatul Qadar di malam yang ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan.”
Dari sini, mayoritas ulama berpendapat bahwa malam tersebut terjadi pada salah satu malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadlan.
Meski demikian, terdapat beberapa pendapat berbeda mengenai terjadinya malam Lailatul Qadar setiap tahunnya. Dalam pandangan mazhab Maliki, Lailatul Qadar terjadi pada suatu malam dalam rentang waktu setahun, baik di bulan Ramadlan atau di luar Ramadlan. Sementara menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i, malam Lailatul Qadar terjadi pada satu malam di bulan Ramadlan, entah di awal, tengah, atau akhir.
Memang, tidak ada satupun ayat ataupun hadis yang menyebut secara pasti kapan terjadinya Lailatul Qadar, tetapi beberapa ulama memberikan rumus atau prediksi mengenai hal tersebut. Al-Ghazali misalnya, menurutnya jika awal Ramadhan dimulai hari Ahad, maka Lailatul Qadar akan jatuh pada malam 29. Adapun jika awal Ramadlan jatuh pada hari Senin, maka malam mulia tersebut jatuh pada malam 21.
Keterangan selengkapnya mengenai pendapat tersebut dapat dirujuk di banyak kitab, seperti I’anatut Thalibin. Bahkan pendapat al-Ghazali ini diamini oleh Abu Hasan Al-Syadzili yang menyebut bahwa sejak ia remaja, Lailatul Qadar tidak pernah meleset dari rumus al-Ghazali.
Lalu, tradisi “pitulikuran” yang diyakini oleh sebagian masyarakat muslim Jawa sebagai terjadinya Lailatul Qadar ini bersumber dari pendapat siapa?
Dalam pandangan Kiai Sya’roni Ahmadi, jika dirunut keyakinan terjadinya Lailatul Qadar pada malam 27 Ramadlan setiap tahunnya ini maka akan sampai pada pendapat Ibnu Abbas Ra berdasarkan penafsiran isyari-nya. Tafsir isyari dipahami sebagai pemahaman al-Qur’an yang diperoleh dari makna yang tersirat atau makna yang diisyaratkan.
Sebagaimana diketahui bahwa Lailatul Qadar disinggung secara khusus oleh al-Qur’an dalam Q.S. al-Qadr [97]. Surah ini terdiri dari lima ayat pendek yang secara khusus membahas keutamaan dan apa yang terjadi saat Lailatul Qadar tiba. Lalu di mana letak isyarat yang mengarahkan pada pemahaman bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadlan?
Menafsiri Q.S. al-Qadr [97], pandangan Ibnu Abbas Ra tertuju pada kata ganti “hiya” yang terdapat pada ayat terakhir. Ia melihat sesuatu yang beda dari kata tersebut. Sejak ayat pertama, Allah SWT memakai kata dzahir “Lailatul Qadar”. Hal yang sama juga terdapat pada ayat kedua dan ketiga. Namun mengapa pada ayat terakhir Allah SWT memakai kata ganti “hiya” yang merujuk pada kata “Lailatul Qadar”? Mengapa Allah SWT tidak memakai kata jelas “Lailatul Qadar” saja pada ayat tersebut? Atau jika memakai kata ganti (dhamir) “hiya”, mengapa tidak dimulai sejak ayat kedua?
Dalam pandangan Ibnu Abbas Ra, di situlah letak isyaratnya. Ada rahasia jumlah huruf dari penggunaan kata “Lailatul Qadar” ataupun hitungan kata dari Q.S. al-Qadr [97] secara keseluruhan.
Pertama, dari segi huruf, kata (ليلة القدر) terdiri dari sembilan huruf, yaitu lam, ya’, lam, ta’, alif, lam, qaf, dal, dan ra’. Oleh karena kata tersebut diulang sebanyak tiga kali, maka jumlah keseluruhan dari kata itu adalah 27 huruf. Dari sini, maka disimpulkan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada tanggal 27 Ramadlan.
Kedua, dari segi kata, dipahami bahwa jika dihitung secara tajwidi, maka dalam Q.S. al-Qadr [97] terdapat 30 kata. Hitungan tajwidi dipahami sebagai cara menghitung kata dalam al-Qur’an dengan patokan boleh-tidaknya diputus atau waqf (berhenti). Sebagai contoh, kata أنزلناه dihitung sebagai satu kata menurut hitungan tajwidi, sebab ia tidak boleh diputus hanya sampai أنزلنا.
Dengan patokan hitungan tajwidi, diperoleh hasil bahwa Q.S. al-Qadr [97] terdiri dari 30 kata dengan rincian ayat (1) sebanyak 5 kata; (2) sebanyak 6 kata; (3) sebanyak 6 kata; (4) sebanyak 8 kata; dan (5) sebanyak 5 kata.
Dari 30 kata tersebut terdapat kata “هي / hiya” yang berarti “ia”. Kata itu jatuh pada hitungan ke-27 dan merupakan kata ganti (dhamir) yang rujuknya kembali ke kata “Lailatul Qadar”. Dari sini disimpulkan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadlan. Penjelasan tentang tafsir isyari Ibnu Abbas Ra ini dapat dibaca dalam kitab Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn.
Dengan demikian, tradisi “pitulikuran” yang diyakini oleh sebagian masyarakat muslim Jawa sebagai malam terjadinya Lailatul Qadar memiliki dasar yang bahkan bersumber dari seorang sahabat bernama Ibnu Abbas Ra. Di sisi lain, malam 27 Ramadlan ini juga tercakup dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim di atas.
Dengan demikian, keyakinan terkait datangnya Lailatul Qadar pada malam 27 Ramadlan ini didukung oleh dua dasar: 1) dalil hadis tentang perintah mencari Lailatul Qadar pada salah malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhln, dan 2) dalil tentang terjadinya malam tersebut pada malam 27 Ramadlan yang bersumber dari Ibnu Abbas Ra. Wallahu a’lam. (*)
Ulin Nuha, Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Alumnus Magister Tafsir Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.