Nabi Musa, Nabi Khidir dan Setan
Ada yang bertanya, mana yang lebih utama antara Nabi Musa dan Nabi Khidir?
Saya menjawab, “Setiap nabi dan rasul memiliki keutamaan masing-masing (تلك الرسل فضلنا بعضهم على بعض). Kita dilarang membeda-bedakan satu sama lain di antara mereka (لا نفرق بين احد من رسله : لا نفرق بين احد منهم)”.
Masih juga ditanya, mana yang lebih utama?
Maka, saya tegaskan. Nabi Musa bukan hanya seorang nabi, beliau juga seorang rasul yang membawa syariat untuk membimbing umat.
Bukan rasul biasa, Nabi Musa adalah satu dari lima rasul istimewa (اولو العزم) bersama Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.
“Terus?”, katanya lagi.
Nabi Musa diberi Kitab Taurat, sementara Nabi Khidir tidak diberi Kitab. Nabi Musa adalah rasul berjuluk kalimullah (كليم الله), orang yang diajak komunikasi langsung oleh Allah (وكلم الله موسى تكليما).
Kerasulan Nabi Musa disepakati, sementara kenabian Nabi Khidir masih diperselisihkan. Ada yang berkata, beliau adalah seorang nabi sehingga ma’shum. Sementara yang lain berkata, Nabi Khidir adalah waliyullah, karena itu tidak ma’shum.
“Lalu kita ikut yang mana?”, sambungnya lagi.
Saya jawab, “Kalau sampeyan hidup di zaman Nabi Musa, maka sampeyan terikat dengan syariat Nabi Musa. Sampeyan harus ikut Nabi Musa”.
“Namun, karena kita hidup setelah Nabi Muhammad SAW (nabi terakhir) diutus, maka kita terikat dengan syariatnya. Kita mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW”.
“Bagaimana dengan Nabi Khidir”, pungkasnya.
Saya katakan, “Nabi Khidir yang dipanjangkan umurnya hingga sekarang juga ikut syariat Baginda Nabi. Karena itu, kalau ada orang yang mengaku ketemu Nabi Khidir dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Baginda Nabi, maka itu bukan Nabi Khidir. Itu setan”.
Dia diam dan diskusi pun selesai. (*)
Ahad, 10 April 2022
Salam,
KH Abdul Moqsith Ghazali, Katib Syuriah PBNU.