Upaya Memberantas Preman: Dari Petrus sampai Habib Syech

Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf (santrinews.com/dok)
SAAT oknum Kopassus mengaku membantai preman di Lapas, banyak dukungan pemberantasan preman dilakukan kembali, persis tindakan “Petrus”-nya Pak Harto, tahun 1980-an.
(Petrus alias penembakan misterius, Shock Therapy ala Orde Baru. Preman di-dor, mayatnya dibuang di selokan, terminal, atau di ruang publik lain agar preman lain jera dan masyarakat merasa aman dengan cara keras nan bengis ini).
Banyak pula yang bersimpati pada oknum pelaku dari pasukan komando ini. Pengakuannya dipuji sebagai sikap ksatria, tindakannya dipuji sebagai ketegasan, dan berondongan pelurunya dianggap sebagai upaya memberantas preman yang meresahkan.
Sungguh, ini bukan sikap ksatria, karena baru mengakui tindakannya setelah Kopassus disorot terus-menerus selama seminggu. Ini pengakuan terpaksa. Sikap ksatria justru ditunjukkan Danjen Kopassus yang siap bertanggungjawab atas tindakan anak buahnya.
Lagipula tindakan memberondong preman yang sudah terdesak bukan tindakan tegas, tapi perbuatan memalukan. Motif tindakan itu juga bukan pemberantasan preman, tetapi lebih pada spontanitas balas dendam atas nama solidaritas dan esprit de corps.
Baiklah, jika mau memberantas preman (dari preman berbasis kedaerahan maupun preman berdaster putih), yang selama ini bikin geregetan masyarakat, TNI sebagai unsur pertahanan bisa bekerjasama denga Polri sebagai unsur keamanan. Bisa dibikin semacam Joint Task Force, anggotanya bisa Polisi Militer dari kedua korps ini.
Jika belum bisa, upaya Gus Miek dan Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf bisa dicontoh. Keduanya tak pernah memakai kekerasan, tapi menggunakan pendekatan persuasif, membaur tapi tak melebur.
Gus Miek berdakwah menggunakan al-Qur’an melalui MANTAB (Majelis Semaan Kitab) dan Dzikrul Ghafilin sedangkan Habib Syech melalui lantunan Shalawat. Ribuan preman berhasil dientaskan keduanya menggunakan al-Qur’an dan Shalawat. Tanpa caci maki, tanpa bengak bengok takbir, tanpa pukulan, dan tanpa pertumpahan darah. Anggun. Elegan.
Habib Syech, dalam wawancara dengan Majalah AULA, edisi April 2013, dengan rendah hati mengemukakan tipsnya mendampingi para preman. Kurang lebih beliau menjawab: “Macan itu liar. Kalau diganggu ya ngamuk. Yang sanggup menaklukkan ya cuma pawangnya saja. Ada ilmunya. Maaf, setahu saya, para preman ini kurang kasih sayang. Butuh perhatian. Mereka dianggap sebagai sampah (oleh) masyarakat. Padahal sampah itu ada manfaatnya. Jika diolah, sampah ini bisa jadi barang berguna kan?”
Lebih lanjut beliau menceritakan jika ada seorang preman pemabuk yang tak pernah shalat. Oleh beliau didekati, tak pernah dinasehati, tapi diajak ngaji, sambil shalawatan. Sambil ngaji pun masih bau alkohol. Dibiarkan saja sama Habib Syech. Tak pernah dimarahi. Akhirnya, preman ini mulai minta sarung. Sama beliau dikasih. Preman pemabuk ini girangnya luar biasa. Akhirnya mulai mau shalat, menjadi makmumnya Habib Syech. Sampai sekarang menjadi jamaah loyal Ahbabul Musthafa.
Ada pula kisah preman lain yang didekati oleh Habib Syech. Tugasnya bawa kitab, diminta duduk mendampingi Habib Syekh tapi kukuh tidak mau. Ia masih malu, merasa dirinya sebagai manusia kotor. Habib berwajah tampan ini menuruti kemauan preman ini. Hingga akhirnya, dalam majelis Ahbabul Musthafa, si preman yang bertugas bawa kitab ini dipanggil agar duduk mendampingi beliau. Karena terdesak, ia pun mau. Tapi hanya duduk diam menundukkan kepala. Setelah majelis usai, preman ini menangis sesenggukan sambil merangkul erat Habib Syech. Ia bertaubat.
Metode Gus Miek dan Habib Syech yang elegan dan ekselen (ahsan) ini memang membutuhkan kesabaran, ketelatenan, upaya membaur tanpa melebur, dan tetap MEMANUSIAKAN MANUSIA. (*)
—-
Allahumma Sholli wa Sallim ‘ala Sayyidina Muhammad. (rijal/ahay).