Kala Nabi Yusuf Ditegur Allah
Alkisah, suatu hari sang ayah, Nabi Ya’qub menjenguk putranya yang telah menjadi raja, Nabi Yusuf As. Melihat kedatangan sang ayah, Nabi Yusuf tidak berdiri menghormatinya. Maka kemudiaan Allah mewahyukan kepada Nabi Yusuf: “Apakah kamu merasa jumawah sehingga tidak berdiri untuk menyambut ayahmu? Sungguh jika itu kau lakukan lagi, saya tidak akan menurunkan nabi-nabi dari tulang rusukmu”.
Begitu keras teguran Allah kepada seorang anak yang tidak menghormati ayahnya. Kisah di atas juga mengajarkan bahwa berdiri untuk menghormati orang tua itu dianjurkan. Petikan kisah ini, dikutip Al-Ghazali ketika membicarakan “hak-hak orang tua dan hak-hak anak” di dalam kitab karya besarnya, Ihya’ Ulumiddin.
Dengan mengutip banyak riwayat (hadits dan atsar), Al-Ghazali menyakinkan bahwa orang tua memiliki hak-hak, sebagaimana juga anak.
Nanti di era moderen, di era Hak Asasi Manusia juga ditegaskan “bahwa orang tua memiliki hak untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya”. Bahkan hak ini, menurut prinsip-prinsip Sirakusa-Italia, bisa membatasi hak kebebasan anak untuk memilih agama dan keyakinannya. Kebebasan anak untuk memilih dibatasi oleh hak kedua orang tua untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya.
Kembali kepada keharusan anak menghormati kedua orang tua, al-Ghazali mengutip beberapa sabda Nabi:
بر الوالدين افضل من الصلاة والصدقة والصوم والحج والعمرة والجهاد في سبيل الله
Berbakti kepada kedua orang tua lebih utama dari shalat, sedekah, puasa, haji, umrah, dan jihad fi sabilillah.
Jika hadits ini shahih (saya lebih percaya pada Imam al-Ghazali sih), maka begitu luar biasa keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Sebaliknya juga begitu besar dosa anak yang mendurhakainya. Nabi bersabda:
اكبر الكباءر الاشراك بالله وعقوق الوالدين
Dosa terbesar adalah menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.
Diriwayatkan, suatu ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa: “Wahai Musa, barang siapa yang berbakti kepada kedua orang tua dan durhaka kepada-Ku, maka aku tulis ia sebagai orang yang berbakti. Sebaliknya, siapa yang berbakti kepada-Ku tetapi durhaka kepada keduanya, maka aku tulis ia sebagai orang yang durhaka.
Terlalu banyak hadis-hadis juga ayat-ayat al Qur’an yang menegaskan kewajiban menghormati kedua orang tua sekalipun berbeda, sekali lagi, sekalipun beda keyakinan. Ini juga penting diingatkan pada anak-anak yang mengkafir-kafirkan atau membodoh-bodohkan orang tua hanya karena belajar agama kemarin sore.
Maka, berbahagialah, sahabat-sahabat yang masih memilik kedua atau salah satu orang tua. Namun juga tidak perlu sedih bagi yang belum sempat berbuat baik, atau ingin terus berbuat baik sepeninggal kedua orang tua. Nabi bersabda:
وعن أَبي أُسَيد مالك بن ربيعة الساعدي رضي الله عنه، قَالَ: بَيْنَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم إذ جَاءهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ ، فَقَالَ: يَا رسولَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ برِّ أَبَوَيَّ شَيء أبرُّهُما بِهِ بَعْدَ مَوتِهمَا ؟ فَقَالَ: (( نَعَمْ، الصَّلاةُ عَلَيْهِمَا، والاسْتغْفَارُ لَهُمَا، وَإنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِما، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتي لا تُوصَلُ إلاَّ بِهِمَا، وَإكرامُ صَدِيقهمَا )) رواه أَبُو داود .
“…ya Rasulullah, masihkah tersisa kesempatan bagiku untuk berbuat baik sepeninggal kedua orang tuaku? Nabi menjawab, ada, yaitu (1) doakan (bacakan shalawat) keduanya, (2) mohonkan ampun keduanya, (3) laksanakan janji-janjinya, (4) bersilaturrahim lah kepada orang-orang yang telah diikat silaturrahim oleh keduanya, dan (5) hormati sahabat-sahabat baik keduanya.
Itulah cara yang diajarkan Nabi bagaimana menghormati kedua orang tua sepeninggalnya. Wallahu a’lam. (*)
Situbondo, 27 Juli 2021