Tafwidh dan Takwil: Perbedaan Takwil Ijmali dan Takwil Tafshili

Di dalam al-Qur’an dan hadis ada nash yang berkategori mutasyabih, yaitu nash yang jika tidak diberi takwil baik tafshili maupun ijmali akan mengakibatkan tajsim (menubuhkan Allah) dan tasybih (menyerupakan Allah).
Ulama salaf dalam hal ini memilih metode tafwidh, yaitu penyerahan total makna sebuah nash mutasyabih kepada Allah dan rasul-Nya. Pada hakikatnya, metode ini adalah metode takwil meskipun hanya secara global (takwil ijmali). Contohnya:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر
Rabb kita tabaaraka wa ta’aala turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir.
Kata Yanzilu “Allah turun” oleh ulama salaf maknanya diserahkan sepenuhnya kepada Allah dan rasul-Nya. Yang pasti, menurut keyakinan mereka, bahwa kata tersebut tidak mungkin bermakna turun secara fisik seperti yang terlintas dalam bayangan manusia.
Kata turun dalam bayangan kita mengandung arti perpindahan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, seperti turun dari hotel lantai sembilan ke lantai dasar.
Hal tersebut tentu mustahil bagi Allah. Dan seandainya itu yang dimaksud maka akan melahirkan hal mustahil yang kedua. Yaitu bahwa dengan perputaran siang dan malam, sepertiga malam yang terakhir terjadi di berbagai tempat di berbagai belahan dunia dalam waktu yang berbeda.
Ulama ahlussunnah baik Salaf maupun Khalaf sepakat menetapkan atau tidak mengingkari adanya “YAD” bagi Allah, karena hal itu dinyatakan sendiri oleh Allah dalam firmannya:
يد الله فوق ايديهم
Mereka juga sepakat bahwa makna dhahir dari kata YAD (sebuah organ) mustahil bagi Allah. Oleh karena itu harus ditakwil (dipalingkan) dari makna dhahirnya yang mustahil itu.
Lalu apa maknanya? Ulama salaf tidak mau menjelaskan apa makna kata itu. Mereka menyerahkan sepenuhnya makna yang dimaksud dari kata itu kepada Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan ulama khalaf menakwilnya dengan makna kekuasaan (قدرة). (*)