Diskursus Majaz dan Takwil dalam al-Quran, Menjadi Tekstualis Tanpa Linguistik?

Orang atau kelompok yang mengaku tekstualis (nashsiyyun) tetapi tidak mengakui adanya suatu unsur yang tidak terpisahkan dari teks, ambillah contoh majaz atau kiasan, adalah contoh tekstualis yang buruk, jika tidak mau mengatakannya ‘mustahil’.

Secara umum kita harus mengatakan bahwa teks (nash) adalah bagian dari bahasa. Bahasa sendiri, secara umum, setidaknya menurut Walter J. Ong dalam Orality and Literacy, terbagi menjadi dua: (i) bahasa lisan, dan (ii) bahasa tulisan.

Secara genealogis, bahasa lisan lebih dulu lahir daripada bahasa tulisan. Bahasa tulisan adalah bentuk kodeisasi atas bahasa lisan —struktur bunyi yang menunjukkan kepada suatu makna.

Baca juga: Kisah Kiai Kebumen Mengajar Tafsir al-Ibriz di Malaysia

Seorang tekstualis semestinya memahami bahwa kedua jenis bahasa ini tak mampu dilepaskan, dan perantara keduanya, dalam disiplin semiologi, adalah makna, atau tinanda. Apa yang terucap melalui citra akustik lisan dan apa yang terkodekan melalui abjad tulisan bertemu di satu konjungsi bernama: makna.

Kita akan berbicara keanehan tekstualis yang mengabaikan satu unsur penting dalam linguistik, yakni majaz. Seperti yang kita ketahui, studi tentang bahasa telah berumur lama sekali dan tidak hanya terbatas pada suatu bangsa, misalnya Arab. Di Yunani kuno, studi ini sudah ada lewat para filsuf, sebut saja Plato dan Aristoteles. Mereka ini telah mempelajari bahasa sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Semantik yang kita kenal sekarang berasal dari bahasa Yunani ‘semion’ yang artinya tanda. Jadi, secara etimologis, semantik berurusan dengan tanda yang merupakan unsur terpenting dari bahasa. Ilmu bahasa kemudian berkembang melalui tangan orang Arab. Setelah melalui periode pewahyuan ilahi, studi tentang bahasa mulai berkembang pesat. Ilmu kebahasaan kemudian lahir: morfologi, sintaksis, ilmu nada dalam syair, dan tentu juga balaghah. Majaz masuk ke dalam ilmu balaghah bagian kedua, yaitu bagian ilmu bayan.

Dalam ilmu balaghah, terdapat sub-disiplin ilmu yang biasanya dibagi menjadi tiga: (i) ilmu ma’ani yang berurusan dengan ketepatan berwicara tergantung konteks (baik objek, waktu, maupun tempat), (ii) ilmu bayan yang berurusan dengan makna lain dari apa yang tertuang atau tertulis, dan (iii) ilmu badi’ yang berurusan dengan keindahan berwicara.

Salah satu inspirasi ketiga ilmu ini adalah kalam ilahi berupa al-Quran. Berhadapan dengan teks suci yang mahaindah tersebut, para ahli bahasa terpukau betapa tidak biasanya keindahan al-Quran. Mereka mempelajari keindahan al-Quran dan mengakui keindahannya bukan lantaran ideologi: bahwa mereka orang Islam, atau lebih-lebih bahwa mereka memeluk akidah A atau B. Bahasa melintasi perbedaan ideologis dan menembus batas-batasnya.

Para ahli bahasa yang ulung tersebut mengakui adanya majaz dalam al-Quran. Bahkan majaz merupakan unsur penting dari keindahan kitab suci tersebut. Tanpa majaz, dalam tinjauan eksplanasi, niscaya suatu wicara akan kering, atau jika itu berhubungan dengan interpretasi, niscaya akan kaku pemaknaannya.

Baca juga: Tafsir dan Hukum Nikah Sirri

Majaz adalah cara melukiskan suatu hal dengan menyamakannya dengan yang lain. Kapan suatu wicara dianggap majaz? Ketika ada sebab atau qarinah. Budi adalah singa. Apa qarinahnya? Saya menyebutnya ‘logika’ dan dari sinilah filsafat bahasa harus terlibat. Budi adalah manusia, bukan singa. Apakah ketika orang mengatakan Budi adalah singa, ia mengatakan sesuatu yang sesungguhnya? Tentu tidak. Mereka hendak menyamakan keberanian Budi dengan keberanian singa.

Di dalam al-Quran sendiri banyak sekali ayat yang masuk ke dalam contoh majaz. Salah satu contoh majaz paling masyhur dalam al-Quran adalah ayat yang berbunyi: “Bertanyalah kepada desa.” Apakah ayat ini menyuruh untuk bertanya kepada desa sebagaimana tersurat? Tentu tidak. Apa yang menjadikannya tidak? Logika. Apakah mungkin orang bertanya kepada desa atau kota atau tempat? Tentu bertanya kepada penduduk di desa atau kota tersebut.

Problem utama kaum tekstualis yang menolak majaz dalam al-Quran adalah lantaran mereka melibatkan latar belakang ideologis. Bagi mereka, jika seorang mengakui adanya makna majaz dalam al-Quran, maka konsekuensinya ada ayat yang boleh dimaknai selain yang tertuang dalam teks. Dan jika ada makna selain yang ada dalam teks, maka dimungkinkan adanya takwil.

Saya mengatakan hal ini problem lantaran ilmu bahasa adalah disiplin ilmiah lintas ideologi. Kendati Zamakhsyari, misalnya, memiliki kecendrungan Muktazilah dalam tafsirnya “al-Kasyaf”, hal itu tidak menghalangi keabsahan diskusi linguistiknya dalam tafsir tersebut, dan ia tidak melibatkan ideologinya ketika membahas keindahan bahasa al-Quran.

Kaum tekstualis (nashsiyyun) belakangan ini cenderung dimaknai secara konotatif, bahwa mereka adalah golongan tertentu dari suatu ideologi dalam akidah. Padahal jika kita merunutnya secara genealogis, tekstualis adalah orang yang persinggungannya dengan unsur bahasawi begitu lekat. Lagi-lagi karena teks adalah bagian dari bahasa dan bahasa memiliki gelanggang ilmunya sendiri yang bebas dari unsur ideologi maupun kepentingan kelompok.

Majaz dan Takwil
Mari kita melihat dengan lebih seksama kaitan antara majaz dengan takwil. Pertama-tama kita harus tahu perbedaannya. Pertama, majaz dinaungi oleh ilmu linguistik, sedangkan takwil dinaungi oleh ilmu tafsir.

Kedua, majaz dalam naungan ilmu bahasa adalah bebas nilai, sementara takwil dalam naungan ilmu tafsir adalah sarat nilai atau kepentingan. Seorang ahli bahasa tidak peduli dari mana asal teks yang menjadi contoh suatu majaz, tidak peduli kesakralan dan keprofanannya. Sedangkan seorang ahli tafsir senantiasa dalam ketegangan antara (i) mengakui adanya takwil atau tidak, dan (ii) domain mana yang mesti ditakwilkan dan mana yang tidak.

Setelah kita memahami perbedannya, mari kita simak persamaannya. Majaz dan takwil, dalam hemat saya, bertemu di sini: logika. Suatu wicara dianggap majaz ketika logika tidak dapat menerima proposisinya. Lihat lagi contoh “Budi adalah singa” di atas. Begitu juga, suatu wicara ditakwilkan ketika logika menolak proposisinya. Contohnya adalah ‘tangan’ bagi Allah. Pertanyaannya, apakah menerima majaz dengan demikian menerima takwil? Tentu tidak.

Dari sinilah saya harus menyelipkan pendapat saya. Logika yang dipakai untuk menilai wicara majazi adalah logika yang dibangun berdasarkan realitas indrawi. Logikawan telah mengklasifikan genus-genus dan melalui pohon Porphyry mereka tahu bahwa manusia-Budi, misalnya, berbeda dari gajah.

Sedangkan logika yang dipakai dalam wicara takwili adalah logika metafisis, yaitu logika yang tidak bisa dirujuk ke kenyataan riil. Bagaimanapun, Tuhan berada di luar genus apapun. Dia berada di luar ranah indrawi. Menakwilkan ‘tangan’ bagi Tuhan sebagai kekuasaan, dengan demikian, mengalir melalui logika penyucian (tanzih) yang menelusup ke rahim metafisika atau akidah. Kendati majaz dan takwil disatukan oleh logika, toh keduanya berbeda surah dan justifikasinya.

Jika menerima majaz berbeda dari menerima takwil, lantas bedanya apa? Majaz adalah mode eksplanasi dalam bahasa. Ia merupakan teknik (i) mem-baligh-kan (menyampaikan bahasa secara menujam) wicara dan sekaligus (ii) teknik menyembunyikan dan melipat-gandakan makna.

Berbeda dari majaz yang cenderung eksplanasi, takwil adalah interpretasi. Yang pertama berhubungan dengan kemampuan memproduksi teks dan yang kedua berhubungan dengan kemampuan memahami teks. Yang pertama berkaitan dengan proses mencipta dan yang kedua berkaitan dengan proses mencitra.

Ibn Rusyd dalam Fashlu al-Maqal mengakui bahwa takwil ada kaitannya dengan majaz. Tetapi kaitan ini adalah kaitan antara pembuat dan penafsir. Al-Quran memang kalam ilahi, tetapi ia tidak terlepas dari dunia profan. Tanpa sisi keprofanan al-Quran, yaitu sisi kaidah bahasawi, mustahil al-Quran bisa dipahami. Ibn Rusyd sendiri memaknai takwil sebagai “mengeluarkan makna kata dari makna hakiki ke makna majazi.”

Betul, kita sedang tidak terbalik membacanya. Bukan mengeluarkan kata dari makna majazi ke makna hakiki, lantaran bagi Ibn Rusyd makna hakiki adalah makna yang indrawi, yakni makna yang pertama kali hadir ketika mendengar atau membaca teks, sedangkan makna majazi adalah makna yang hadir belakangan melalui perantara akal sesuai dengan kebiasaan penutur bahasa —jika itu al-Quran maka sesuai dengan kebiasaan penutur Arab.

Ibn Rusyd adalah contoh paling menawan seorang tekstualis (dalam arti yang lebih rigid: mengakui otoritas kebiasaan penutur Arab) yang masih menggunakan akal sehatnya (dalam arti yang juga rigid: mengakui otoritas akal sehat dalam sinaran teks dan argumen demonstratif). (*)

M.S. Arifin, penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat, asal Demak. Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Terkait

Khazanah Lainnya

SantriNews Network