Muktamar NU
Ahwa Dinilai Lebih Baik, Forum Santri: Potensi Konflik Antar Kiai Justru Lebih Besar
Dari kanan-kiri: Akh Muzakki (sekretaris PWNU Jatim), KH M Hasan Mutawakkil Alallah (Ketua PWNU Jatim), Imam Aziz (ketua panitia Muktamar ke-33 NU), dan H Thariqul Haq (sekretaris panitia daerah) saat rapat persiapan. (santrinews.com/hady)
Surabaya – Rencana Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) pada 14-15 Juni nanti terus menuai penolakan. Pasalnya, Munas itu didesain khusus untuk mengeggolkan sistem Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) dalam pemilihan Rais Aam PBNU.
Forum Santri Nusantara juga menyatakan penolakannya. Alasannya, dalam beberapa kali sosialisasi sistem Ahwa telah mendapat penolakan dari hampir seluruh PWNU/PCNU seluruh Indonesia.
“PBNU sepertinya sudah “˜tuli’ terhadap aspirasi pengurus NU tingkat bawah,” kata Koordinator Forum Santri Nusantara Jawa Timur, Ahmad Hambali, usai pertemuan di Kampus Unitomo Surabaya, Kamis, 11 Juni 2015.
Dia menegaskan, alasan sebagian pengurus NU terkait sistem Ahwa yang dinilainya untuk menghindari perpecahan antar kiai serta meminimalisir politik uang (riswah) di arena Muktamar ke-33 NU di Jombang pada 1-5 Agustus mendatang sangat lemah.
“Justru kalau sistem Ahwa ini dipaksakan akan berpotensi besar memunculkan konflik antar kiai,” tegas mahasiswa Pascasarjana Unitomo Surabaya ini.
Perpecahan itu, lanjut dia, bisa dilihat dari penolakan sejumlah pengurus NU tingkat wilayah dan cabang. “Nah dalam hal ini potensi konflik sangat besar bila Ahwa dipaksakan,” tandas alumnus Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar Sumenep ini.
Sepanjang perjalanan pergantian kepemimpinan NU sejak didirikan pada tahun 1926, tercatat selalu dipilih secara langsung oleh PWNU dan PCNU. “Dan faktanya, tidak ada perpecahan antar kiai hingga pada titik yang memperihatinkan,” papanya.
Menurut dia, sistem Ahwa hanya sekali diberlakukan. Yakni pada Muktamar NU di Situbondo tahun1984. Itupun saat itu karena kondisinya sangat genting.
Hambali lalu menyitir sebuah kaidah fikih yang berbunyi: dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih (menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kemanfaatan).
Berdasarkan fakta tersebut, kata dia, keburukan pemlihan langsung, yakni potensi terjadinya perpecahan antar kiai akibat perbedaan dukungan, ternyata tidak terbukti. “Sementara mamfaat sistem Ahwa masih semu (wahmiyyah),” tegasnya.
Karena itu, dia meminta semua elit struktural NU di pusat agar tidak memaksakan pemberlakukan sistem Ahwa melalui Munas NU di Jakarta pada 14-15 Juni nanti. “PBNU mestinya intropeksi diri atas sikap penolakan dari pengurus NU wilayah dan cabang, bukan sebaliknya terus memaksakan diri,” pungkasnya. (ali/onk)