Jelang Satu Abad NU
Aswaja NU Harus Selalu Dimodifikasi

Dari kiri, Noorhaidi Hasan, Malik Madani dan M Baharun. (Santrinews.com)
Surabaya – Di era reformasi yang didalamnya diiringi globalisasi sangat terbuka bagi merebaknya sejumlah isme, khususnya di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, di tanah air juga bermunculan sejumlah aliran keislaman produk lokal.
Efek dari kemunculan isme-isme ini mengakibatkan keberadaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah ala NU kian terjepit. Baik Islam yang beraliran kanan maupun kiri. “Gerakan Islam kanan sering diidentifikasikan sebagai gerakan radikal yang biasa mengklaim kebenaran sebagai milik eksklusif mereka dan harus diperjuangkan dan diterima orang lain,” kata Katib ‘Aam PBNU Prof Dr H Malik Madani, Sabtu 18 Mei 2013.
“Bila perlu kelompok ini melakukan paksaan bahkan treror untuk memaksakan ide dan gagasannya,” lanjutnya. Bagi Malik Madani, apa yang dilakukan kalangan kanan ini bertolak belakang dengan gerakan Islam kiri (al-yasari) yang bernuansa liberal.
Pandangan ini disampaikan Malik Madani pada Seminar Keagamaan Pra Konferensi Wilayah NU Jawa Timur yang bertepatan dengan Harlah NU yang ke 90. Seminar dengan tema ‘Aswaja NU dan Tantangan Sosial Keagamaan di Tengah Perubahan’ ini menghadirkan Prof DR Muhammad Baharun (MUI Pusat) serta DR Noorhaidi Hasan (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan dimoderatori H Nur Hidayat (Wakil Sekretaris PWNU Jatim). Kegiatan diselenggarakan di lantai 3 gedung PWNU Jatim.
Di hadapan undangan dari sejumlah PCNU se Jawa Timur ini, Malik menandaskan bahwa gerakan Islam kanan transnasional secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan basis perjuangan, yakni gerakan Islam kanan yang berbasis purifikasi. “Beberapa yang masuk kategori ini adalah Wahhabi, Salafi, Taliban serta Jama’ah Tabligh dengan tradisi khurujnya.
Tipe kedua adalah gerakan Islam kanan berbasis politik diantaranya adalah Al-Ikhwanul Muslimun, Al-Jama’ah Islamiyyah, Hizbut Tahrir al-Islami, Jamaah al-Islami serta Taliban.
“Sedangkan yang ketiga adalah gerakan Islam kanan berbasis kekerasan dan teror,” tandasnya. “Beberapa yang masuk kategori ini adalah al-Qaidah, al-Jamaah al-Islamiyyah, Taliban, Wahhabi Sururi serta Tanzimul Jihad,” tandasnya.
Kondisi ini kian diperparah munculnya gerakan-gerakan Islam kanan produk lokal seperti Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta Frtont Pembela Islam atau FPI.
Karena itu kalau kemudian di PWNU Jatim telah berdiri Aswaja NU Center, maka hal itu harus diapresiasi. “Rasanya Aswaja NU Center hanya ada NU Jawa Timur,” katanya. “Dan ini harus disambut dengan sambutan meriah,” lanjutnya.
Dengan berdirinya Aswaja NU Center ini diharapkan kesadaran warga akan pentingnya melakukan pengkajian bagi Aswaja di segala tingkatan. Demikian juga bagaimana dari pengkajian tersebut dapat ditindaklanjuti dengan kesadaran kolektif seluruh jajaran NU di segala tingkatan.
“Namun demikian, dengan dunia yang kian berubah, harus mulai dipikirkan agar Aswaja NU dapat tetap up to date sehingga tetap dicintai semua kalangan, khususnya anak muda NU,” harapnya.
Menarik Kaum Muda
Tantangan globalisasi yang mensyaratkan kebebasan bagi bermunculannya aliran di tanah air membawa tantangan yang tidak ringan bagi NU. Sejumlah kalangan bahkan tidak lagi ‘betah’ serta cenderung bergabung dengan gerakan Islam kanan maupun kiri.
Karena itu, hal paling mendesak untuk dilakukan adalah melakukan modivikasi dan mendekati anak-anak muda dengan pendekatan yang lebih bisa diterima oleh mereka.
Demikian beberapa harapan yang disampaikan DR Noorhaidi Hasan saat ditemui Santrinews usai menjadi narasumber pada seminar: “Aswaja NU dan Tantangan Sosial Keagamaan di Tengah Perubahan” di lantai tiga, gedung PWNU Jawa Timur.
Bagi dosen UIN Sunan Kalijaga ini, kian banyaknya kader muda NU yang cenderung lebih tertarik dengan kajian Islam kanan ataupun kiri sebagai konsekuensi dari globalisasi yang sudah menggejala di negeri ini.
“Kita tidak bisa melakukan karantina dan membatasi akses bagi anak-anak muda untuk berkomunikasi dengan faham dan pandangan yang ada di belahan dunia manapun,” tandasnya. “Globalisasi telah mengajarkan kepada kita akan peluang sekaligus bahaya dari kemudahan akses ini,” terangnya.
Sebagai solusi, harus mulai difikirkan bagaimana Aswaja bisa dicerna dan berdialog dengan pemikiran baru. “Ini tentunya butuh kepandaian dan keseriusan para pegiat Aswaja NU,” tandasnya.
Karena beberapa hasil dari Aswaja NU Centre PWNU Jatim berupa buku rujukan maupun advokasi kepada kegiatan pendangkalan aqidah, ternyata masih kaku dan kurang bisa diterima oleh beberapa kalangan. “Masih konservatif seperti layaknya yang dilakukan para ulama jaman dulu, “ tandasnya. “Apa tidak mulai difikirkan modivikasi kajian dan penyampaian Aswaja NU secara lebih atraktif dan up to date?” katanya balik bertanya.
Beberapa kreasi dapat dilakukan dalam upaya menarik sejumlah kalangan muda. “Ada Aswaja NU yang bisa disampaikan dengan model komik, film atau sentuhan baru lainnya,” sarannya.
Beberapa kreasi itu diperlukan agar wawasan anak muda NU tetap konsisten dan berada di jalur Aswaja. “Tanda adanya modifikasi dan perubahan model serta sentuhan dari banyak sudut pandang, rasanya dakwah Aswaja NU akan banyak ditinggalkan,” pungkasnya. (saif/ahay).