Meski Fisik Lemah, Kesehatan Jiwa Santri Lebih Unggul
KH Yusuf Chudlori (santrinews.com/dok)
Semarang – Wakil Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) KH Yusuf Chudlori mengatakan, perlu disadari kesehatan fisik santri lemah, namun dalam kesehatan jiwa lebih unggul.
Menurut pria yang akrab dipanggil Gus Yusuf ini, pesantren berangkat dari apa adanya terkait kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan menjadi salah satu faktor kenapa penyakit mudah menyebar di lingkungan pesantren.
“Pesantren sangat terbuka terkait masalah kesehatan, sebenaranya masalah mindset atau pola pikir hidup sehat yang perlu kita kembangkan di kalangan pesantren”, ujarnya dalam rapat koordinasi dan dialog interaktif penanggulangan tuberculosis (TB) paru di lingkungan pondok pesantren, di gedung Bappeda Jateng, Kamis, 19 Maret 2015.
Kegiatan bertema “Temukan, Obati dan Lindungi Warga Pondok Pesantren dari penularan TB Baru” itu digelar oleh Pemerintah Jawa Tengah melalui Sekretariat Daerah dengan mengundang berbagai elemen.
Hadir seagai pemateri Dinas Kesehatan Jateng dengan menyampaikan “Kebijakan Penanggulangan TB dan Penyehatan Lingkungan”, perwakilan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang menyampaikan “Kecenderungan Meningkatanya Penemuan Kasus Baru TB Di Lingkungan Pesantren dan Upaya Penanggulangannya”, serta Gus Yusuf menyampaikan materi “Kesehatan dalam Perspektif Pesantren”.
Gus Yusuf mengatakan, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat melatih kesabaran. Makanya tak heran di lembaga pendidikan tertua di Indonesia tersebut selalu menerapkan pola hidup sederhana seperti makan. Ia mengakui di API Tegalrejo, santri makan daging atau telor hanya ada tiap Jumat.
Menurut pengasuh pesantren API Tegalrejo ini juga menjelaskan, sarana dan prasarana pesantren disesuaikan dengan kemampuan kiai dan dukungan masyarakat setempat. Biasa tanpa kehadiran pemerintah pesantren bisa berdiri. Hal ini menjadi bagian dari kemandirian pesantren yang masih dianut oleh beberapa pesantren yang tidak mau menerima bantuan dari pemerintah.
Rapat Koordinasi tersebut berangkat dari penemuan kasus baru TB yang ternotifikasi (CNR) pada 2013 dan 2014 yaitu 114/100.000 penduduk mengalami penurunan 88,43% (2013) dan 87,03% (2014) padahal target nasional sebesar 90%. Hal ini menjadikan Jateng menjadi urutan 12 dengan jumlah TB terbesar di Indonesia.
Dinkes Jateng menaruh perhatian khusus terhadap kasus ini dikarenakan TB banyak ditemukan di lingkungan pesantren karena lingkungan yang tidak bersih dan tidak sehat. Serta kehidupan pesantren yang komunal (sanitasi, tempat tidur, cuci tangan, belajar dan pembuangan sampah) berpotensi sebagai tempat penularan TB secara luas dan cepat.
BKPM Magelang merupakan salah satu dari lima BKPM yang ada di Jateng menjadikan pesantren sebagai salah satu tempat untuk pelaksanaan program deteksi dini pada kelompok potensial. Penyebabnya diantaranya populasinya ada yang lebih besat dari 1000 santri dalam 1 pesantren.
Kedua, droplet infection dan airborne dissease. Ketiga, kebersamaan/persaudaraan yang kuat diantara santri. Keempat, pemantauan minum obat/kepatuhan penanganan TB yang belum mendapat dukungan maksimal. Kelima, santri sebagian besar berusia produktif dan mobilitas Santri yang tinggi. Data di BKPM Magelang menunjukkan 27 santri tahun 2013 meningkat pada tahun 2015 menjadi 35 santri yang dinyatakan BTA positif.
Pihak BKPM menyarankan pesantren untuk menyaratkan bebas TB ketika menerima santri baru, adanya penyuluhan dan sosialisasi TB, pemeriksaan deteksi dini, dan lingkungan belajar dan istirahat yang mendukung di lingkungan pesantren.
Namun perlu adanya komitmen bersama dari berbagai pihak ditambah adanya dorongan pesantren memiliki poliklinik/pos kesehatan pesantren dengan pendampingan dari Dinkes, BKPM, Kemenag, RMI-NU (asosiasi pesantren) untuk mewujudkan pesantren yang perspektif kesehatan, sehingga akan dihasilkan santri religius yang sehat. (zulfa/onk)