PBNU Nyatakan Punya Kesamaan dengan FPI

Ketua Bidang Hukum dan HAM PBNU KH Robikin Emhas (santrinews.com/uswah)

Jakarta – Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Robikin Emhas menyatakan ada beberapa kesamaan antara NU dan Front Pembela Islam (FPI).

Hal itu dilontarkan Robikin di tengah polemik terkait FPI yang hingga sekarang tak kunjung diterbitkan perpanjangan izin surat keterangan terdaftar (SKT) ormas untuk FPI oleh pemerintah.

Persamaan pertama, kata Robikin, adalah tentang penguatan ekonomi warga, sedangkan persamaan kedua terkait keadilan ekonomi.

“NU memiliki concern dalam penguatan ekonomi warga. Saya percaya FPI memiliki atensi mengenai hal ini. Akses terhadap keadilan, termasuk keadilan ekonomi, boleh jadi merupakan sejenis common sense (akal sehat) seluruh ormas yang ada,” kata Robikin dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 31 Oktober 2019.

Persamaan kedua, FPI dan NU menyembah Tuhan yang sama dan memiliki paham yang sama tentang persaudaraan antarmanusia.

Robikin mengingatkan agar tali persaudaraan yang sudah terjalin erat tak boleh putus hanya karena perbedaan pendapat.

“Sesama manusia di seluruh penjuru dunia, persaudaraan tak boleh diputus hanya karena perbedaan pemikiran,” ujarnya.

Selain itu, Robikin sepakat dengan pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj tentang kewajiban umat Islam menghormati keturunan Nabi Muhammad SAW, yang disebut ‘habib’.

Bahkan, kata Robikin, NU merupakan salah satu pelopor utama yang memberi contoh kepada masyarakat tentang cara menghormati habib.

“Menghormat habib? NU-lah yang melakukannya, sejak zaman prakemerdekaan hingga saat ini, boleh jadi tidak ada cium tangan wolak-walik kepada habaib jika NU tidak melakukannya. Mengapa? Karena hal itu merupakan bagian dari perintah agama,” tegasnya.

Terakhir, ia menegaskan NU juga berkomitmen tidak akan mendukung gagasan negara Indonesia berdasar syariah Islam ataupun khilafah. NU sudah sepakat bahwa pembentukan negara Indonesia ini sudah final.

“Final sebagai kesepakatan para pendiri bangsa (mu’ahadah wathaniyah) yang karenanya wajib bagi generasi berikutnya untuk mematuhinya. Karena kesepakatan adalah janji dan janji merupakan utang yang mesti dibayar,” pungkasnya. (us/hay)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network