Soal Predator Anak, Gus Ipul Dukung Ide Mensos Khofifah

Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf alias Gus Ipul (santrinews.com/dok)
Kediri – Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sepakat dengan pernyataan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa tentang hukuman berupa pemutusan syaraf libido dan sanksi sosial bagi pelaku pencabulan serta kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut Gus Ipul, kejahatan dengan korban anak merupakan hal yang keji, terlebih lagi kejahatan seksual.
“Saya setuju, karena kita harus memberi hukuman yang keras terhadap orang yang melecehkan anak,” kata Gus Ipul, usai peresmian Masjid Al Ishlah di Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Ahad, 11 Oktober 2015.
Gus Ipul juga mengimbau kepada orang tua agar lebih waspada mengawasi anaknya dan perubahan sikap anak. Biasanya korban itu kenal baik dengan pelaku, dan pelaku kenal baik dengan korban. Saat inilah orang tua harus cermat terhadap anaknya.
Menurut Gus Ipul, di sejumlah negara memang hukuman kebiri sudah diberlakukan terhadap orang yang melakukan kejahatan seksual. Oleh karena itulah dia menganggap hukuman kebiri merupakan hal yang pantas diberikan.
“Saya harap yang melakukan kekerasan seksual diberikan hukuman yang berat. Pelecehan terhadap anak ini dapat berdampak psikologis yang luar biasa, karena ini adalah anak dan merupakan masa depan bangsa Indonesia,” tegasnya.
Saat meninjau penerima Program Keluarga Harapan (PKH) di desa Kemirirejo, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu, 10 Oktober 2015, kemarin, Khofifah menjelaskan, hukuman pemutusan saraf libido predator anak sudah berlaku di beberapa negara Eropa Timur, Asia dan Australia.
Menurut Khofifah, pengadilan Indonesia, khususnya hakim, bisa mengadopsi cara ini sebagai hukuman pemberat dengan berbagai pertimbangan.
“Hakim itu bisa saja menjatuhkan hukum pemberatan, vonis pemberatan. Karena pertimbangan tertentu maka bisa dibuka ruang pemberatan. Misalnya kalau ini predator (anak), apalagi kekerasan seksual diikuti kekerasan fisik, dan kejahatan seksual diikuti kriminalitas. Itu kan aspek-aspek pemberatannya sudah memungkinkan. Bisa dijatuhkan oleh pengadilan,” terang Khofifah.
Khofifah juga mengambil contoh sanksi sosial yang diterapkan instansi hukum di beberapa negara bagian di Amerika Serikat kepada predator anak, yaitu dengan menyebarluaskan foto pelaku di muka publik agar pelaku dikucilkan dan hidup dengan rasa bersalah.
“Banyak state (negara bagian) di Amerika juga masih ditambah lagi (hukuman bagi predator anak) dengan publikasi di sosial media. Jadi foto muka pelaku itu di tempel di tempat-tempat umum supaya orang-orang tahu kesalahan orang itu. Itu pemberatan yang memungkinkan bisa dijatuhkan pengadilan,” jelasnya.
Khofifah mengutip hasil studi beberapa posikolog yang menyatakan, rasa candu predator untuk mencabuli anak-anak lebih parah dibanding candu penyalah guna narkotika. Itu sebabnya, jika tidak dijatuhi hukuman berat, predator akan kembali ke masyarakat dan berpotensi besar mengulangi perbuatannya demi memuaskan rasa candunya.
“Predator itu menurut para psikolog, tingkat adiksinya bisa lebih parah dari pecandu napza (narkotika dan zat adiktif) sendiri. Kalau misalnya dia diberikan hukuman beberapa tahun penjara lalu keluar penjara, sangat mungkin dia melakukan perbuatan itu kembali,” tegas Khofifah. (shir/dtk)