Ahok dan Apropriasi Parpol
Salah satu kekuatan dan sekaligus daya tarik utama pencalonan Gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, adalah kemandirian dan keberaniannya menghadapi upaya hegemoni partai-partai politik.
Kendati Ahok akhirnya mengambil langkah strategis berupa kompromi dengan parpol (Golkar, Nasdem, Hanura, dan, terakhir, PDIP), tetapi reputasi dam kredibilitas beliau sebagai sosok yang mandiri dan berani bisa dikatakan tak tergores.
Bahkan publik di tanah air menyaksikan drama tarik ulur antara mantan Bupati Belitung Timur tersebut dengan PDIP, yang notabene parpol pemilik kursi terbesar di DPRD DKI, akhirnya ‘dimenangkan’ oleh pihak yang disebut pertama itu.
Hal itu terjadi, hemat saya, karena Ahok tahu benar bahwa Ketum DPP PDI-P, Megawati Sukarnoputri tak memiliki opsi yang lebih baik selain mendukung sang petahana untuk membawa partainya unggul dalam Pilkada DKI. Walaupun sebagian elite DPP dan DPD PDI-P DKI ngotot menolak Ahok, tetapi mereka juga tak mampu mengajukan calon yang punya bobot seperti sang Gubernur.
Namun demikian, dinamika politik memiliki logikanya sendiri yang kadang tak bisa dikontrol dengan mudah oleh para pemainnya. Misalnya, pasca bergabungnya Ahok dengan empat parpol tersebut, belum jelas bagaimana posisi dari pendukung loyalnya seperti Teman Ahok dan kelompok-kelompom relawan lain yang selama ini berjuang bahu membahu dan ‘berdarah-darah’ itu?.
Memang benar bahwa sang petahana selalu mengatakan bahwa dirinya tetap mendengarkan dan mengikuti apa kata Teman Ahok dkk. Namun siapa yang bisa memberi jaminan bahwa para parpol itu pada akhirnya tak akan melakukan apropriasi (pengambil-alihan) terhadap Ahok dan peminggiran atau marginalisasi kelompok loyalis dari masyarakat sipil itu?.
Gejala menguatnya upaya apropriasi terhadap Ahok oleh parpol bisa dilihat dalam wacana dan praksis perebutan posisi ketua tim pemenangan paslon Ahok-Djarot. Kendati di atas permukaan yang tampak adalah gegeran antara PDIP dengan Golkar, tetapi tak bisa dikesampingkan bahwa kemungkinan kedua parpol gajah tersebut akan melakukan negosiasi dan berbagi peran dalam manajemen pemenangan Pilkada.
Jika Nasdem dan Hanura juga mendapat jatah yang tepat, maka apropriasi terhadap Ahok dan marginalisasi terhadap posisi Teman Ahok dkk akan berjalan mulus.
Implikasinya, sang petahana akan sulit menampilkan diri sebagai calon gubernur yang mandiri dan mampu ‘mengatasi’ kontrol parpol-parpol pendukung. Trade mark yang selama ini menjadi daya tarik dan popularitas Ahok, serta menjadi pembeda antara beliau dengan calon-calon lain akan terancam mengalami erosi.
Sebaliknya, parpol-parpol pendukung akan berusaha keras mendiktekan agenda-agenda mereka sehingga Ahok bisa jadi kehilangan orisinalitas sebagai sosok yang terbuka, blak-blakan, dan tak takut dengan kontroversi!.
Secara konseptual dan substantif kepentingan parpol dalam memenangkan sang petahana, saya kira, tidak sama dengan kepentingan kalangan masyarakat sipil. Pihak yang disebut terakhir itu tidak akan berupaya melakukan kontrol sampai ketika sang calon memenangkan kompetisi. Bisa saja akan terjadi tawar menawar politik antara Ahok dengan Teman Ahok dkk dan para pendukungnya, tetapi sifatnya tidak akan seperti kepentingan parpol.
Itu sebabnya para pendukung Ahok dari kalangan masyarakat sipil, termasuk tetapi tak terbatas pada Teman Ahok dkk, perlu mencermati dinamika ini dan meresponnya secara efektif. Terutama mengantisipasi upaya parpol melakukan apropriasi terhadap Ahok dan memarginalisasi peran masyarakat sipil. Jangan sampai aspirasi masyarakat sipil Jakarta yang sudah begitu kuat gaungnya lantas terbenam oleh hegemoni parpol. (*)