Belajar Toleransi ke Tanah Papua

Kalau ada sebuah maqolah yang menyuruh kita “tuntutlah ilmu hingga ke negeri China” maka saya akan belajar tentang kedamaian dan toleransi ke tanah Papua.
Saya memiliki kesan khusus dan mendalam di tanah Papua. Suatu ketika saya mendapat tugas dari pihak stasiun televisi untuk meliput tentang masjid-masjid tua di seluruh wilayah nusantara dari Aceh hingga Papua, maka saya pun terbang menuju propinsi Papua Barat.
Saya datang dengan bekal ekspektasi dan opini dari info-info yang saya olah sendiri tentang Papua. Dalam pikiran saya: saya akan susah mencari masjid dan bertemu umat Islam di tanah Papua dan bla bla bla serta penuh dengan keterbelakangan.
Namun setiba di Manokwari saya tidak susah mencari sebuah masjid besar bahkan masjid tersebut konon dibangun oleh seorang perwira menengah TNI AL yang beragama Kristen.
Perjalanan saya lanjutkan ke daerah Fak Fak, begitu saya touch Down di bandara utama di Fak Fak ini saya disambut dengan kondisi bandaranya berupa bedeng dari triplek yang kalah bagus dari bedeng tempat tidur pekerja proyek pembangunan apartemen pada umumnya. Dalam pikiran saya pun semakin yakin betapa terbelakang daerah yang saya kunjungi.
Namun Begitu perjalan darat saya lalui menuju ke pusat kota Fakfak semua pikiran tentang keterbelakangan dan juga susahnya mencari masjid seketika sirna. Aspal yang halus, rumah-rumah bertembok permanen tak ubahnya di tanah Jawa, bahkan masjid rayanya tak kalah dengan masjid raya yang ada di pulau Jawa.
Di Fakfak tak sedikit sepeda motor diparkir di pinggir jalan tanpa dikunci karena kondisi geografis pegunungan yang tidak memungkinkan sepeda masuk di dalam rumahnya tetap aman-aman saja walau berhari hari.
Di Fakfak sudah terbiasa dalam satu rumah dan keluarga memiliki keyakinan yang berbeda baik Katolik, Kristen, Islam dan animisme atau dinamisme.
Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan rukun damai tanpa ada masalah-masalah yang berarti, mereka punya filosofi hidup yang selalu dipegang hingga kini yaitu: Satu Tungku, Tiga Batu.
Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari “kau”, “saya” dan “dia” yang dalam prakteknya ada perbedaan baik agama, suku, status sosial tetapi tetap dalam satu wadah persaudaraan.
Negara kita tercinta ini adalah anugerah dari Allah SWT yang telah menyatukan 700 ratusan kabilah atau suku dalam satu wadah: Indonesia.
Negara kita tercinta ini adalah kekuatan tersembunyi yang belum terasah maksimal untuk menjadi poros kekuatan dunia.
Negara kita tercinta ini adalah rumah bagi orang-orang pecinta perdamaian yang lahir dari rahim dari orang-orang berjiwa besar yang mampu menyisihkan ego dan kepentingan-kepentingan kelompoknya.
Tugas kita adalah menjaga dan merawat bangsa kita ini dari ancaman-ancaman pihak-pihak yang tidak menghendaki Indonesia menjadi negara besar, kuat dan berpengaruh dalam turut mengukir peradaban dunia.
Salam damai untuk semua karena rasa damai harus dimiliki oleh semua. (*)
Blitar 20 Agustus 2019