Berbahagialah, Karena itu Perintah Tuhan

Bahagia menjadi satu pembahasan yang tak kunjung usai. Bila mana bahagia semakin diukur dan dinilai, justru semakin kabur makna asalnya, bahkan semakin luas.

Bahagia memiliki ruang terdalam di lubuk dan di benak manusia. Mengapa demikian? Karena bahagia bukan melulu soal ukuran kebendaan atau kepunyaan, apalagi capaian.

Bahagia sejalan dengan rasa lega, puas, santai, bahkan tenang. Bahagia memiliki porsi-porsi yang sejalan acuan dari Tuhan. Beragam ayat di dalam al-Quran menjelaskan korelasi pola sikap dengan bahagia.

Di era milenial ini banyak “meme” dari hasil buah pikir menuliskan bahwa bahagia itu diciptakan bukan dinantikan, bahagia itu bukan seberapa banyak yang didapatkan, tetapi seberapa sering anda berbagi. Dan banyak lagi.

Tentu setiap orang memiliki orientasi hidup. Dan pasti akan berkaitan erat dengan kebahagiaan. Ketika apa yang ia inginkan tercapai, terpenuhi maka dapat dipastikan ia merasa bahagia. Perihal ia akan memulai lagi untuk mencapai keinginan yang baru, hal itu sudah menjadi kewajaran.

Apalagi dalam segala keruwetan kehidupan di muka bumi ini, tidak sedikit yang mencari dan mengulik apa itu sebenarnya “Bahagia”? Jika saja bahagia orientasinya, maka bagaimana dengan prosesnya? Yang sering kali kita dengar dari mubalig-mubalig, bahkan kiai-kiai langgar adalah inna ma’al usry yusra, bahwa sesungguhnya setiap kesusahan, pasti bersamaan dengan kemudahan. Dan Tuhan menguatkan dengan ayat selanjutnya. (Qs: Al Insyirah, (5-6).

Bahwa al-Quran sebagai pedoman hidup sejalan dengan proses perjalanan hidup itu sendiri. Ujaran Jawa yang sangat terkenal dalam dialek masyarakat adalah “gampang-gampang angel” Mudah-mudah, susah.

Dari pengucapannya menunjukkan bahwa ada proses membangun sikap optimis dalam menjalani kehidupan. Bahwa setiap hal masih terlalu banyak kemudahannya ketimbang kesulitannya.

Lantas, benarkan bahagia itu orientasi, atau kesadaran bahwa menjalani proses yang sesuai juga bagian dari kebahagiaan. Disampaikan dalam syiir lama, bahwa “setiap perkara memiliki tempat pemberhentiannya, oleh karena itu dengan sabar, telaten, akan memudahkan menuju tempat pemberhentian tersebut. Hal ini menguatkan persepsi bahwa kebahagiaan itu bukan objek semata, tetapi juga prosesnya.

Manusia adalah makhluk sosial, setiap manusia memiliki soulmate, bahkan dikatakan oleh para ahli bahwa manusia tidak akan pernah bahagia jika hidup sendirian. Ini diperkuat dalam proses kelahiran sejak Nabi Adam. Tetapi hal ini segera dibantah oleh pejalan Sufi, bahwa tidak ada kebahagiaan selain bersua dengan-Nya. Salahkah keduanya? Tentu tidak, karena ruang dan waktunya berbeda, yang pertama dalam ruang sosial, hubungan sesama manusia, dan yang kedua dalam ruang transenden, atau hubungan kausalitas dengan Tuhan.

Dengan demikian, bahagia beragam rupa dan ruang. Hubungan sosial menyimpan pola kebahgiaannya sendiri. Hal ini termaktub dalam beragam ayat di dalam al-Quran, pun di berbagai penelitian. Salah satu contoh misalnya, “Tolong-menolonglah dalam hal kebaikan dan ketakwaan, ta’awanu ‘ala al bir wa attaqwa.” Atau dalam kamus kebahagiaan, tidak ada kata “belum”. Yang ada adalah Happiness is Now.

Dengan Tuhan menciptkan ketidaksempurnaan, justru mendidik manusia agar saling melengkapi, menghargai dan menghormati satu sama lain. Jika belum saja sempurna, maka prosesnya untuk sampai pada kesempurnaan sudah ternilai sempurna. Mengapa demikian? Karena Tuhan sudah menilai satu kebaikan bagi siapa saja yang sudah meniatkan diri untuk berbuat baik.

Tentu masih perlu perluasan makna, tetapi dengan tidak mendiamkan diri, atau menunggu apa yang dinamakan kebahagiaan, itu sudah menjadi satu bentuk dari proses kebahagiaan.

Karena bahagia yang paling sederhana adalah tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Sederhananya, tidak membuat orang lain bersedih, maka Tuhan menjamin kebahagiaan untuknya. (*)

Sumber Bacaan:
Assy-Syahristani, al Hikam.
Haidar Bagir, Percikan Cinta dan Kebahagiaan, Mizan.
As-Sulami, Tabaqat as Sufiyah, Beirut.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network