Wahai Perempuan, Berbahagialah dalam Iddah

Judul ini terinspirasi dari ayat:
لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُیُوتِهِنَّ وَلَا یَخۡرُجۡنَ إِلَّاۤ أَن یَأۡتِینَ بِفَـٰحِشَةࣲ مُّبَیِّنَةࣲۚ (الطلاق)
Ayat ini hadir untuk mengingatkan Rasulullah dan juga kaum muslimin agar tidak mengusir istri-istri yang menjalankan iddah dari rumah tinggalnya. Sebaliknya perempuan yang beriddah seharusnya juga tidak keluar dari “rumah tinggal perkawinannya”.
Ayat ini menegaskan bahwa perempuan yang beriddah –masa iddah— berhak untuk mendapatkan “tempat tinggal”, dan bahkan nafkah selama menjalani iddah. Itulah hak istri, kewajiban suami. Sebaliknya, suami memiliki hak agar istri yang diceraikan dan menjalani iddah raj’iy wajib tetap berada di dalam “rumah tinggal perkawinan”. Inilah hak suami kewajiban istri.
Mengapa demikian, sebab istri yang dithalak raj’iy hakikatnya masih berada dalam “ikatan perkawinan”, yang sewaktu-waktu bisa kembali (rujuk) dalam ikatan perkawinan yang sesungguhnya. Bahkan ada pendapat yang menyatakan, jika dalam masa iddah, suami-istri itu jika melakukan hubungan seksual, maka berarti telah dinggap kembali dalam ikatan perkawinan. Inilah yang disebut rujuk bil fi’li, rujuk dengan tindakan bukan dengan ucapan.
Jadi, al-Qur’an lebih mengedepankan “hak istri yang beriddah” daripada kewajibannya. Berbeda dengan narasi-narasi yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan yang beriddah tidak boleh ini dan tidak boleh itu. Lebih banyak narasi kewajiban daripada narasi pemenuhan hak.
Apakah perempuan yang beriddah tidak boleh keluar rumah?
Dalam kitab fikih dasar, seperti kitab Fathul Qarib, dinyatakan bahwa keharusan menetap di “rumah tinggal pernikahan” tidaklah mutlak. Ada banyak situasi dimana perempuan yang beriddah boleh keluar rumah.
Seperti, pertama, untuk kebutuhan mencari nafkah ketika kebutuhan nafkah tidak dipenuhi oleh suami.
Kedua, untuk kebutuhan-kebutuhan rumah tangga sehari-hari, seperti keluar untuk membeli makanan, atau menjual hasil kerajinan tangannya, hasil panennya dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Ketiga, keluar rumah untuk sekedar menjahit di tetangga (memintal), bincang-bincang dengan tetangga, mengurai kebosanan di rumah terus, dan lain lain. Dengan syarat jika malam hari harus kembali ke rumah tinggalnya. Menurut saya, jika ia berstatus sebagai guru atau pegawai lainnya, maka ia boleh mengerjakan profesinya dengan syarat tetap pulang di malam hari.
Jadi, Islam tidak menyulitkan, tidak mengsengsarakan, tidak menghambat apapun, apalagi terhadap perempuan. Keliru pandangan yang menyatakan bahwa perempuan yang beriddah tidak boleh keluar rumah dalam keadaan apapun, sebab itu pasti menyulitkan. Walaupun banyak laki-laki yang senang dan bahagia jika “perempuan yang diceraikannya” bersedih dan dalam kesulitan. Wallahu A’lam. (*)
Situbondo, 1 Februari 2021
Dr KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.