Fiqih dan Pengalaman Perempuan

Dalam berbagai kesempatan, saya sering mengingatkan bahwa Fiqih itu penting, tapi jangan dipandang satu-satunya hal penting dalam Islam. Ada pertimbangan islami lainnya yang juga diperlukan selain sah atau tidak sah, dan halal atau haram.

Minimal, jadi bisa ditambah, perlu ditambah 2 pertimbangan lainnya sehingga menjadi 3 langkah. Pertama, apakah sesuatu itu boleh atau tidak menurut Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini lazim menggunakan nalar bayani atau nalar yang didasarkan pada teks-teks otoritatif.

Kedua, sesuatu yang halal atau boleh menurut agama itu baik atau tidak? Jadi konteks yang berbeda bisa membuat sesuatu yang halal sekaligus baik, tapi bisa juga sebaliknya jadi buruk.

Misalnya daging kambing halal tapi bagi mereka yang darting alias tekanan darah tinggi, maka tidak baik. Ini perlu nalar burhani yang bertumpu pada logika untuk bisa sampai pada kesimpulan halalan thayyiban.

Ketiga, sesuatu yang halal lagi baik (halalan thayyiban) perlu ditanya lagi apakah layak-pantas atau tidak. Jawabannya tentu mesti layak atau pantas. Misalnya kasih gule kambing ke tetangga (halal lagi baik) tapi ngasihnya pakai panci, sedangkan dagingnya cuma dua potong kecil. Tentu tidak pantas sehingga perlu dahingnya ditambahin atau tempatnya diperkecil, biar pantas. Ini perlu menggunakan nalar irfani yang bertumpu pada rasa atau sensitifitas untuk bisa sampai pada kesimpulan halalan thayyiban wa ma’rufan.

Manusia diberi bekal fisik (terutama panca indra), akal, sekaligus hati untuk bisa melihat kebaikan secara lebih utuh. Mempertimbangkan segenap akal budi dalam setiap tindakan ini justru kemampuan khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain.

Pengalaman perempuan secara biologis seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui adalah sah untuk dipertimbangkan dalam kemaslahatan Islam. Saya uraikan beberapa saja biar gak kepanjangan.

1. Menstruasi. Jika al-Quran melarang hubungan seksual dengan istri saat menstruasi karena adanya rasa sakit (adza) yang mungkin dirasakan oleh istri (bukan penyakit loh. Dicubit itu sakit tapi cubitan bukan penyakit kan?), rasa sakit karena menstruasi itu sudsh terjadi sebelum darah mens keluar. Namanya PMS (Premenstrual Syndrome). Pada masa PMS secara fiqh halal hubungan seksual, tapi karena larangan hubungan seks saat mens karena sakit, maka ini masuk kategori halal tapi tidak baik sehingga ya jangan lakukan!

2. Nifas. Saya dapat kiriman video yang menunjukkan proses kelahiran melalui sesar yang terlihat simpel. Kenyataannya tidaklah sesimpel itu, baik normal maupun sesar sama-sama menyebabkan luka sehingga perlu dijahit. Secara fiqih kalau darah nifas sudah berhenti, maka halal untuk berhubungan seksual. Tapi pernahkah jarinya kena pisau? Apakah setelah darah berhenti jari tidak sakit? Masih sakit dong deh!!! Artinya, walau darah sudah berhenti, belum tentu sudah sepenuhnya hilang rasa sakit.

Dalam video itu menunjukkan ada beberapa lapisan yang dijahit setelah sesar. Artinya jahitan luar mungkin sudah terlihat kering secara sempurna, tapi waspadalah mungkin jahitan bagian dalam masih belum.

Jadi setelah nifas selesai, secara fiqih halal tapi jika masih berbahaya dan sakit walaupun hanya pada pihak istri, maka itu jelas belum baik (thayyiban).

3. Istihadlah. Ini darah yang keluar selain pada masa haid dan nifas. Disebut istihadlah karena ada indikasi sesuatu yang tidak berjalan semestinya yang bisa jadi indikasi adanya sakit. Secar fiqih hukumnya berbeda dengan orang yang sedang mens dan nifas.

Tapi ingat, sesuatu yang islami tidak hanya yang sah/halal/boleh menurut agama tapi juga mesti baik/thayyib, dan pantas/ma’ruf untuk dilakukan seorang manusia yang berakal budi.

Aku sampai nangis loh terharu saat menyadari khithab ayat menstruasi dalam al-Quran malah ditujukan pada laki-laki, padahal hanya perempuan yang mengalami. Juga ayat tentang kehamilan, kelahiran, tentu saja meliputi nifas, dan menyusui yang ditujukan secara umum tidak hanya untuk perempuan.

Sejak abad 7 Masehi Islam udah mengajak kita semua terutama laki-laki yang tidak mengalaminya untuk punya perhatian khusus pada pengalaman biologis perempuan. Bandingkan dengan tradisi sebelumnya yang justru menjadikan pengalaman ini sebagai alasan untuk semakin menistakan perempuan.

Sayang kalau nilai luhur dan agung ini hilang jika Islam hanya dihayati sebatas fiqih yang memang pertaruhannya pada aspek legal formal. Fiqih sangat penting tapi jangan sampai membuat pertimbangan lain seakan tidak penting sama sekali dalam Islam. Wallahu A’lam bish Shawab!. (*)

Pamulang, 2 Maret 2020

Nur Rofiah, Dosen Tafsir di Program Pascasarjana PTIQ Jakarta.

Terkait

Syariah Lainnya

SantriNews Network