Kitab Uqudul Lujain: Antara Perspektif Laki-laki dan Pengalaman Perempuan

Salah seorang perempuan “menahan marah dalam hati” dan berusaha menutup telinganya agar tidak mendengar lagi, setelah mendengar “pengajian kitab Uqudul Lujain” yang dibaca salah seorang ustadz.
Pasalnya ia mendengar penjelasan Ustadz dalam kitab itu yang menyatakan bahwa “istri yang menolak melayani suami, maka dibilang istri yang nusyuz (durhaka). Dan di kitab itu pula dijelaskan bahwa “jangan sampai hidung suami mencium aroma tak nyaman dari istrinya, karena jika demikian maka istri tidak akan mencium harum surga”
Perempuan itu bertanya mengapa penjelasan ustad itu berhenti disitu. Bagaimana kalau suami menolak ajakan istrinya untuk melakukan hubungan suami istri? Apakah bukan suami yang durhaka juga. Bagaimana jika istri yang menemukan bau tidak sedap dari suaminya? Apakah suami tidak akan mencium bau surga juga? Mengapa “seakan-akan”, sekali lagi seakan-akan kitab itu selalu menyasar dan menyudutkan perempuan atau istri.
Saya menjawab kegelisahannya. Ia, karena, pertama, kitab yang sesungguhnya untuk suami istri ini disalahpahami seakan hanya untuk istri. Kedua, kitab Uqudul Lujain itu seharusnya dibaca dengan perspektif kesetaraan dan keadilan.
Ketiga, kitab itu seharusnya dibaca dengan mempertimbangkan pengalaman perempuan atau istri dalam rumah tangga. Keempat, seharusnya kitab itu disandingkan dengan nilai-nilai kesalingan yang secara tegas digambarkan oleh Al Qur’an.
Ketika menjelaskan tentang suami mencium aroma istri, seharusnya juga sebaliknya. Karena Al Qur’an menyatakan:
(وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ): Dan bagi istri-istri ada hak yang sepadan dengan kewajiban yang ditunaikannya.
Menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan:
«إني أحب أن أتزين لامرأتي، كما أحب أن تتزين لي المرأة،
Aku senang berhias untuk istriku, sebagaimana saya menyukai jika istri berhias untukku.
Jadi, ayat ini menyatakan, jika suami tidak menyukai aroma tidak sedap dari istri, maka demikian pun sebaliknya.
Ketika menjelaskan hadits bahwa Malaikat melaknat istri yang menolak ajakan suaminya, maka seharusnya juga mengingat firman Allah:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Istri istri adalah pakaian/selimut/rumah suami dan (jangan lupa), suami-suami juga pakaian/selimut/rumah bagi istri.
Ayat ini dengan jelas sekali menyatakan keseimbangan antara hak seksualitas suami dan hak seksualitas istri. Pakaian adalah simbol kehangatan, simbol perlindungan, citra diri dan lainnya. Maka sebagaimana istri adalah kehangatan, perlindungan, citra diri suami, maka demikianpun sebaliknya.
Membaca kitab Uqudul Lujain memang membutuhkan perspektif yang jernih, jujur, empati, komprehensif, dan juga memperhatikan pengalaman perempuan.
Laki-laki yang sedang bermasalah dengan keluarga, atau ingin menguasai perempuan, atau ingin mempertahankan privilese/hak istimewa-nya, atau atau, maka tidak boleh membaca kitab ini, karena ia akan menemukan pembenaran atas egonya itu.
Kitab Syarah Uqudul Lujain fi Bayaani Huquqi al-Jauzain merupakan kitab karangan Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi al-Bantani (w. 1316 H/1898 M).
Secara bahasa Uqudul lLujain berarti rangkaian atau untaian permata. Kata Al Lujain adalah bentuk tashgir dari kata Lujatun yang bermakna fiddhatun (permata). Kitab ini sesungguhnya menjelaskan hak dan kewajiban suami istri, namun seringkali hanya disasarkan pada istri, karena umumnya yang membaca adalah laki laki, dengan perspektif laki laki. Wallahu A’lam. (*)
Situbondo, 10 Ramadlan 2021
KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.